Bab 5

8.4K 897 14
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa, selamat membaca.

*

*

*

Sayang, Maaf.

Nanti aku nggak bisa jemput kamu. Aku ada lembur dadakan.

Nanti kamu pulang sama Ghani. Jangan naik ojek!

Jangan lupa juga kabarin aku kalau sudah sampai rumah!

Love you, sayang.

Setelah membalas pesan Damar, Naya langsung menghubungi Ghani untuk menjemputnya.

Selagi menunggu adiknya datang, Naya membereskan meja kerjanya.

"Nay, kamu udah mau pulang?" Fani bertanya sembari melangkah masuk ke dalam keruang kerja Naya.

Naya menolehkan kepalanya dengan cepat."Eh, Mbak," mendongak menatap Fani."Belum, mbak. Aku nunggu adikku jemput," ungkapnya."Kenapa memangnya, mbak?"tanyanya kemudian.

"Kamu temenin aku ketemu klien dulu sebentar, Nay. Terus, bilang adik kamu, siapa tadi namanya?" kata Fani yang saat ini sudah duduk pada kursi. Berhadapan dengannya.

"Ghani mbak." Naya menyebutkan lagi nama adiknya.

"Nah iya. Bilang Ghani nggak usah jemput. Nanti pulangnya aku anter sekalian."

"Loh, bukannya udah nggak ada janji di luar, mbak?" tanya Naya heran, karena memang jadwal Fani sore ini sudah kosong.

"Seharusnya begitu sih, Nay. Tapi klienku ini adik sepupuku. Dan dia kebetulan bisanya sore ini," terang Fani.

Naya menganggul mengerti."Baik, Mbak. Aku bisa kok. Kalau begitu aku kabarin Ghani dulu."

"Iya, Nay. Aku juga mau ambil tas dulu," Ujar Fani, lalu meninggalkan ruang kerja Naya.

Tidak lama, Fani kembali dengan tas di tangannya. "Ayo Nay! Udahkan telpon Ghani, nya?"

"Ghani udah aku kabarin, Mbak. Cuma, pacarku di telpon nggak di angkat-angkat." ucap Naya sedih.

"Di jalan kali, Nay."

"Katanya sih, tadi dia bilang mau lembur, Mbak."

"Pacar kamu cemburuan nggak, Nay?" tanya Fani lagi.

"Super duper, Mbak!" jawab Naya sembari mengetikan pesan untuk Damar.

"Berarti kamu hebat, Naya. Tidak semua orang bisa bertahan kalau apa-apa di cemburuin. Apa-apa harus lapor," ujar Fani cukup masuk akal.

Naya hanya tersenyum simpul. Jika dikatakan dirinya hebat, tentu tidak. Karena tidak jarang juga dia jengah dengan ke posesifan serta kecemburuan Damar. Belum lagi sifat Damar yang meledak-ledak.

"Kamu kirim pesan saja, Nay." Fani memberi saran.

"Sudah Mbak." Naya menyimpan posel dan meraih tasnya."Ayo Mbak! Nanti keburu malam. Bumil tuh, kalau kata almarhum Ibuku, pamali keluar menjelang malam," katanya seraya menggandeng Fani.

"Almarhum ibu kamu benar." Fani mengelus perut besarnya."Kalau bukan saudara, aku udah mau tolak aja, Nay. Perut udah gede gini."

"Perkiraan dokter, lahirnya kapan mbak?" tanya Naya antusias.

"Awal bulan depan lah, Nay. Do'ain semoga lancar, ya."

"Pasti dong, Mbak. Aku doakan proses pahiran Mbak di permudah, dan bayinya juga sehat."

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang