Bab 7

8K 856 28
                                    


Vote dan komentarnya jangan lupa. Selamat membaca.

***

"Aku apa Dam?"

Naya menyorot mata Damar dalam. Lima menit sudah, mereka masih diam membisu.

"Tentang kemarin malam, Aku, aku-" Damar menelan lagi kata-katanya. Begitu banyak yang ingin dia katakan tetapi terasa sulit untuk mengungkapkannya.

"Aku, aku minta maaf. Dan aku harap kamu sudah tidak marah," ucap Damar akhirnya. "Ayahku dan Ayah Gendis bersahabat sudah lama. Keluarga kami juga dari dulu memang akrab. Dan Gendis hanya aku anggap adik perempuanku, tidak lebih.

"Demi Tuhan! Aku, tidak berniat bohong sama kamu, Naya. Aku hanya mau kamu-"

"Hanya apa? Kamu hanya berusaha agar aku tidak tahu kan, Dam?" selak Naya menusuk.

"Sayang." Damar tercekat.

"Kenapa kamu tidak jujur saja, Dam? Setidaknya itu jauh lebih baik, meskipun menyakitkan untukku," ucap Naya sarat akan kesakitan dalam setiap arti katanya.

"Sayang..."

"Tentang makan malam kamu sama Gendis dan keluarganya, aku tidak marah, Dam. Aku hanya kecewa. Sesulit itu, untuk kamu jujur?" ungkap Naya susah payah. "Aku tidak bisa marah tentang hal itu. Aku cukup tahu diri, Dam. Aku hanya gadis biasa dan-"

"Sayang, aku benar- benar minta maaf!" Damar langsung membawa Naya ke dalam pelukannya.

_

Naya mendesah kasar, memikiran kembali pembicaraannya dengan Damar tadi pagi.

"Naya, kamu kenapa? Kamu sakit?"

Pertanyaan Fani memecah lamunan Naya tentang Damar. Sudah tepatkah dia mencoba meluaskan maafnya untuk lelaki itu. Mengalah untuk hubungan mereka agar tetap baik-baik saja.

Tetapi, dari semua itu tidak serta-merta membuat Naya lega. Hatinya semakin gundah. Raut wajah tidak suka Utami saat pertama melihatnya dan beberapa waktu lalu di restauran masih menempel kuat dalam ingatannya.

"Alhamdulillah, aku sehat dan baik-baik saja, Mbak," sahut Naya dengan seulas senyum terbit dari bibirnya.

"Syukurlah. Aku kira kamu sakit, tadi?" ungkap Fani lega.

"Enggak Mbak."

"Kalau nggak sakit, terus kenapa kamu ngelamun? Ada masalah?" tanya Fani lagi.

"Aku cuma lagi mikirin ini, Mbak. Tadi pagi, rumah udah aku kunci apa belum, ya?" dia beralibi.

"Beneran, ya?"

"Iya Mbak. Beneran." Naya terus meyakinkan Fani jika dirinya baik-baik saja. Walaupun pada faktanya, dia sangat membutuhkan teman untuk berbagi. Terutama tentang asmaranya dengan Damar.

"Kalau ada masalah dan kamu udah siap cerita, cerita saja. Jangan ragu atau sungkan, ya," ujar Fani bersedia menjadi pendengar keluh kesah Naya.

"Iya mbak. Terima kasih banyak sebelumnya. Nanti kalau sudah siap, aku pasti cerita."

"Se-"

"Klise!"

Naya dan Fani serentak menoleh pada suara yang tiba-tiba ikut menimbrung dalam obrolan mereka. Naya mendengus kecil saat melihat Bia sudah berdiri sambil bersidekap dada di ambang pintu ruang kerjanya.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang