Bab 12

6.8K 802 7
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa. Terima kasih. Selamat membaca.

***

"Pembelaan apa yang kali ini ingin kamu katakan, Dam?" Naya memberanikan diri membuka suara dengan sorot mata yang sedikit tajam dan rahang mengeras. Mengabaikan pita suaranya yang sudah bergetar.

"Sayang," ucap Damar dengan nada suara yang lebih rendah setelah menyadari letak kesalahannya.

Melihat air wajah Naya, hati Damar terasa nyeri. Dia lebih mendekat, tangannya terulur menyentuh wajah cantik itu. Namun, Naya lebih cepat menepis tangannya.

Damar mencelos. Naya menolaknya.

Menyesal?

Tentu.

"Nay, a-"

"Apa Dam?" suara Naya tercekat. Namun tetap menuntut."Bukannya kamu sedang bersama Gendis, tadi?" ucapnya menusuk.

"Nay, ak-"

"Aku capek Dam, aku mau istirahat. Kalau kamu mau marah, besok saja. Sekarang, lebih baik kamu pulang," usir Naya dengan suara pelan. Dia sudah lelah.

Damar menyelidik penampilan Naya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Hatinya mencelos. Pakaian gadis itu tampak basah kuyup, rambut lepek, wajah sembab serta mata merah dan bengkak.

Damar menelan salivanya pahit. Dia menyesal sudah memberikan tumpangan untuk Gendis, sedangkan kekasihnya harus pulang dalam keadaan menyedihkan.

"Naya, aku-" perkataan Damar terjeda dengan bunyi dering pada ponselnya.

Damar sangat mengutuk si pemanggil yang menggangunya di waktu yang tidak tepat ini. Tetapi mengetahui panggilan tersebut dari Ibunya, Damar menarik kembali kutukan-kutukannya.

"Iya Bu," ucap Damar saat mendengar suara sang ibu. Matanya tetap fokus pada Naya.

Mendengar nama Utami di sebutkan. Naya lekas membuka pagar dan masuk kedalam rumah tanpa mengucapkan selamat malam atau lainnya.

"Iya bu," jawab Damar mengerang panjang karena Naya pergi meninggalkannya.

"Iya Bu. Damar lagi di jalan. Sebentar lagi Damar pulang kok, bu." Damar menutup panggilan Ibunya dan bergegas menyusul Naya.

Damar mengetuk pintu rumah gadis itu berulang kali, tetapi Naya tidak kunjung membukanya.

"Naya, sayang. Buka pintunya. Aku nggak bakal pulang, kalau kamu nggak buka pintu," ujarnya sedikit mengancam. Tetapi hasilnya tetap sama. Pintu itu tetap tertutup rapat.

Damar menghela nafas dalam-dalam. Dia menyerah, namun tetap bertahan di sana sampai Ghani tiba.

Sepeda motor Ghani memasuki halaman rumah. Damar baru beranjak dari depan pintu. Menghapiri pemuda itu.

"Malam Mas? Baru mau pulang?" Ghani menyapa Damar setelah memarkirkan sepeda motornya.

"Iya, Ghan," dusta Damar, tidak mungkin dia berkata yang sebenarnya terjadi saat ini.

"Oh, hati-hati di jalan Mas," ucap Ghani.

"Ghani," panggil Damar sebelum melangkahkan kakinya.

"Kenapa Mas?" Ghani menatap bingung pada Damar yang terlihat kacau malam ini.

"Kalau kamu memang sebuk dan nggak bisa jemput Naya, kasih kabar lagi sama Mas. Mas masih bisa gantiin kamu buat jemput Naya, kok. Jangan hiraukan kalau Naya melarang," pesan Damar.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang