Bab 21

6.8K 770 30
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa, terimakasih. Selamat membaca.

Hati-hati, typonya banyak. 😅

***

"Manusia hanya mempunyai rencana, Tuhan tetap sang pemegang kuasa. Perihal menikah dan usia, satu orangpun di dunia ini tidak akan pernah ada yang mengetahui waktunya. Sama halnya seperti ajal yang datangnya tetap menjadi misteri."

-almost 30-

***

Sebelum Desi kembali, Naya lebih dulu keluar dari ruang perawatan Fani. Menyusuri koridor rumah sakit, Naya mengayunkan kakinya menuju taman untuk merenungkan lagi nasihat Fani.

Mungkin, bagi orang lain permasalahannya dengan Damar adalah hal sepele dan tidak harus di tangisi. Namun, untuknya permasalahan tersebut adalah hal yang sangat serius. Menguras kesabaran serta air mata.

Naya duduk termenung pada kursi panjang yang terletak di sudut taman. Sesekali pandangannya jauh menerawang langit sore yang nampak begitu cantik dan meneduhkan.

Fani benar, seharusnya dia sadar jika Tuhan sudah mengatur segala hal tentang kehidupan. Manusia hanya mempunyai rencana, Tuhan tetap sang pemegang kuasa.

Perihal menikah dan usia, satu orang pun di dunia ini tidak akan pernah ada yang mengetahui waktunya. Sama halnya seperti ajal yang datangnya tetap menjadi misteri.

Seandainya saja Naya bisa lebih tegas dengan hatinya. Dan tanpa perlu banyak berpikir, bisa saja saat ini hubungannya dengan Damar sudah berakhir. Tetapi, rasa cintanya terhadap lelaki itu masih besar sehingga membelenggunya dalam kebimbangan.

Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Tiga tahun adalah waktu yang panjang. Damar sudah terlanjur melekat dalam hatinya.

"Naya?"

Panggilan dari seseorang menarik Naya dari lamunan panjangnya.

Naya mengerutkan kedua alisnya melihat Gendis berada di tempat yang sama dengannya. Namun ada yang berbeda, gadis itu terlihat pucat dalam balutan pakaian paisen rumah sakit.

"Gendis?" bibir Naya bergerak menyebut nama itu.

"Boleh duduk?" Gendis melihat bagian kosong kursi yang Naya duduki.

"Boleh, silakan." Naya sedikit beringsut memberi ruang lebih lias untuk Gendis duduk.

Beberapa menit mereka duduk bersama, tanpa suara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana sore yang entah mengapa sangat menenangkan menghanyutkan keduanya.

"Aku udah dua hari dirawat, di sini." Gendis membuka obrolan. Tapi matanya tetap lurus kedepan."Aku sakit karena hujan yang terakhir kali kita saat ketemu di depan Cafe, Nay. Kamu ingat, kan?" lanjutnya berkata.

Naya menatap Gendis yang duduk disampingnya. Memperhatikan gadis itu lebih lekat.

"Kamu nggak ada niat jenguk aku, gantiin Damar?" Gendis terkekeh sumbang. Lalu membalas tatapan Naya."Damar masih di jalan, mau kesini," katanya, mengejutkan Naya.

"Damar?" kernyitan pada dahi Naya nampak terlihat.

Gendis mengangguk sebagai jawaban. Lalu membuang lagi pandangannya ke depan.

Naya tercenung di tempatnya. "Dis, Aku-"

"Aku tahu, kamu pasti kesel banget sama aku, iya kan, Nay?" Gendis memotong. Bibir pucat dan kering itu tersungging tipis setelahnya.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang