Bab 32

6.8K 694 7
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa, terimakasih. Selamat membaca.

Hati-hati, typonya banyak. 😅

***

Tiga puluh menit lagi waktu tersisa untuk berganti hari, namun Naya masih tetap terjaga. Langit yang gelap gulita, menjadi temannya menghabiskan waktu.

Setelah cukup kesulitan untuk memejamkan mata di dalam kamar, Naya memilih teras belakang untuk sekedar mencari angin segar. Walaupun pada faktanya bukan itu yang dia dapatkan. Melainkan fikirannya semakin kusut dan kantuknya yang terus hilang karena memikirkan Damar.

Sanggupkah jika Damar benar-benar pergi jauh dari jangkauannya? Pertanyaan itu lagi yang muncul dalam benaknya.

"Ngapain teh? Udah malem masih di luar?"

Suara Ghani yang masuk ke dalam gendang telinganya, membawa Naya kembali dari lamunan panjangnya.

"Teteh dari tadi susah tidur. Kamu ngapain?"Naya balik bertanya di akhir kalimatnya.

"Ghani abis ambil minum, haus."memperlihatkan gelas yang di bawanya."Tapi, liat pintu ini masih kebuka. Kirain, emang belum di tutup," lanjutnya berkata, lalu lebih mendekat lagi pada sang kakak.

"Kayaknya mau hujan tapi belum turun-turun." Naya berujar sambil melihat ke sekeliling.

Ghani mengikuti arah pandang sang kakak sesaat."Teteh lagi ada masalah di kantor?"tanyanya.

Naya menggelengkan kepala." Enggak ada," jawabnya kemudian.

"Kalau memamg ada, cerita aja sama Ghani. Biarpun Ghani nggak bisa banyak nolong, se-enggaknya perasaan Teteh plong."

"Beneran nggak ada, Ghani."

"Ya udah, kalau gitu, Ghani masuk lagi. Tugas Ghani belum selesai," ujarnya mencoba mengerti dengan keadaan sang kakak yang jelas sekali tidak ingin di ganggu.

"Ghani." Panggilan sang kakak membuat langkah Ghani terhenti dan berbalik lagi.

"Kamu tahu sesuatu tentang Damar, bukan?" Naya sengaja mengatakannya.

"Tahu," sahut Ghani cuek.

"Kamu masih belum maafin dia?"

"Ghani belum bisa maafin siapapun yang udah nyakitin orang-orang yang Ghani sayang, Teh."

"Tapi Ghani Da,-"

"Memang, Mas Damar baik sama Ghani, Teh. Tapi Ghani belum terima kalau Mas Damar membentak teteh seperti itu. Teteh ingatkan? Apa sama Ambu aja nggak pernah bentak kita. Sementara Dia siapa? Baru pacar sudah,-" Ghani tidak meneruskan perkataannya. Dia ingin sekali berkata kasar, namun sang kakak tidak menyukainya."Ah sudah lah! Ghani malas bahas dia."

"Damar bakal pindah dari sini,Ghani." Naya memberitahukan.

"Ghani nggak peduli. Itu jauh lebih baik. Malah kalau bisa jangan balik lagi," balas Ghani kemudian masuk kembali kedalam.

Naya menghela nafas panjang, dia harus terima jika watak adiknya itu sangat keras.

***

Bian menyatukan kedua tangannya diatas meja, matanya menatap lurus pada potret kebersamaannya dengan Rania.

Banyak sekali kenangan yang tidak mungkin dia lupakan sebelum akhirnya Tuhan memanggil Rania untuk selamanya.

Senyum terindah yang Rania tampilkan dalam potret saat acara pertunangan mereka, adalah satu dari sebagian hal yang sulit untuk Bian lupakan.

Informasi yang baru saja Bian dapatkan tentang perkembangan kasus kecelakaan yang menewaskan Rania beberapa tahun lalu mengorek kembali lukanya yang tidak pernah kering.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang