Bab 19

6.5K 770 10
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa, terimakasih. Selamat membaca.

Hati-hati, typonya banyak. 😅

***

Hampir dua hari tanpa kabar dari Naya, membuat Damar nyaris gila. Rasa rindu sangat menyiksanya. Selama menjalin kasih dengan Naya, baru kali ini permasalahan mereka serumit ini.

Damar menatap ponsel dan benda kotak berisi cincin di atas meja kerjanya bergantian. Dia menyesal telah menuduh dan menyakiti hati Naya.

Sikap overprotektif dan cemburu yang berlebihan, membuat Damar tidak mampu mengendalikan diri.

Damar meraih kotak persegi itu, mengelurkan isinya. Dia menatap benda berkilauan yang belum sempat diberikan pada Naya dengan nanar.

Damar ingin sekali menjadi satu-satunya lelaki yang mengabulkan impian terbesar Naya sebelum genap berusia tiga puluh tahun. Tetapi, keinginan itu hancur berantakan karena dirinya yang tidak bisa menguasai diri dengan baik.

Lamaran yang sudah dia rencanakan batal.

Naya semakin menjauh darinya.

Telpon dan pesannya pun tidak ada yang di baca ataupun di balas oleh gadis itu. Sementara bunga yang sudah terlanjur di persiapkan pun, harus rela dia buang karena layu.

Dan dia sangat mengutuk perbuatannya.

Suara telpon masuk merebut atensi Damar sepenuhnya. Tanpa menunggu lama Damar langsung menerima panggilan tersebut.

"Iya, Kenapa?" tanyanya pada sang sekretaris di ujung gagang telpon.

"Sekarang?" ujarnya saat sang sekretaris menyampaikan jika dirinya di panggil ke ruangan Devan.

"Saya segera kesana. Terima kasih." Damar menutup panggilan teresebut. Selintas pembicaraannya dengan sang ibu beberapa hari lalu terngiang dalam ingatannya.

"Orang yang kita temui tadi memang betul, itu atasan kamu?

"Iya bu."

"Tetapi, waktu itu namanya bukan Raka, tapi Bian."

"Maksud ibu?"

"Kamu ingat, waktu kamu jemput ibu sama Gendis di Mall. Yang kamu nyusul ke toko roti?"

"Ibu ingat betul, lelaki yang bersama Naya di mall itu, adalah Pak Raka yang kamu kenalkan, tetapi saat itu bukan Raka, Bian namanya. Ingatan ibu masih bagus. Kalau kamu tidak percaya, tanya saja Gendis."

Damar mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ternyata lelaki yang sempat membuat Naya tertawa lepas adalah atasannya sendiri.

"Raka Bian Pratama." Damar menggumamkan nama lengkap Bian penuh penekanan."Mas Bian," lanjutnya mengingat nama yang Naya sebutkan.

Damar memejamkan matanya, mengapa harus Bian yang ada di antara dirinya dan Naya, bukan orang lain.

***

Damar membuka pintu ruangan CEO setelah perintah masuk terdengar.

"Silakan masuk, Pak Damar."

Devan menyambutnya dengan ramah. Damar langsung berjalan menuju meja sofa mengikuti sang atasan.

"Silakan duduk, Pak Damar," ucap Devan yang langsung Damar turuti.

Damar membetulkan simpul dasinya sambil menunggu Devan membuka suara lagi.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang