Vote dan komentarnya jangan lupa, terimakasih. Selamat membaca.
Hati-hati, typonya banyak. 😅
***
Naya memekik cukup keras bahkan nyaris berteriak jika saja dia tidak cepat menutup mulutnya saat membuka pintu utama mendapati Damar sudah berdiri tegap di hadapannya.Entah sejak kapan lelaki itu datang, Naya tidak mengetahuinya. Suara pagar terbuka pun Naya tidak mendengarnya.
Bagaimana cara Damar melewati pagar yang terkunci menjadi pertanyaan terbesarnya. Tetapi, Naya baru ingat jika tadi Ghani pergi shalat subuh ke masjid. Maka otomatis pagar sudah terbuka.
Naya mengelus dadanya berulang kali, meredakan debaran jantungnya.
"Ada apaan, Teh?" Ghani bertanya setengah berteriak dari dalam.
"I-ni, ini-" Naya tergagap tidak jelas. Dia masih terkejut.
"Ini Mas Damar, Ghani." Damar menyahuti. Sedikit melongok kedalam rumah.
Ghani yang khawatir langsung keluar dari dalam kamar.
"Loh, Mas Damar tumben? Libur gini pagi-pagi banget udah kesini? Kalian mau jalan-jalan?" Ghani bertanya seraya menatap Naya dan Damar bergantian.
"Enggak Ghan, Mas memang sengaja pagi-pagi karena ada yang mau di bicarakan sama Naya," jelas Damar melirik Naya sekilas. Dan karena kekhawatirannya pada Naya yang menelponnya kemarin membuat Damar nekat datang pagi sekali.
"Oh, Ghani kira kalian mau jalan? Kalau gitu, Ghani masuk lagi, Mas. Ghani banyak tugas, nih."
"Iya Ghan. Belajar yang bener, kamu."
"Beres, Mas!" Ghani kemudian kembali ke dalam kamarnya.
Damar menatap heran saat Naya masih diam. Tidak menyambut hangat kedatangannya.
"Kamu sudah sarapan? Kalau belum kita beli sekarang." Damar berusaha mencairkan suasana.
"Ghani lagi nggak mau beli makanan dari luar dan aku juga udah masak nasi goreng."
Damar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku nggak di suruh masuk, sayang?" tanyanya saat mereka terus bericara sembari berdiri di ambang pintu.
"Kita bicara disini saja, Dam." Naya menggiring Damar untuk duduk pada kursi rotan teras rumahnya.
"Nggak kaya biasanya kamu cuek gitu sama aku, sayang?" Damar mendaratkan bokongnya di atas kursi. Tatapannya tidak lepas dari Naya.
Naya tidak menjawab, dia hanya menatap Damar sebentar lalu duduk pada kursi yang bersebrangan dengan Damar.
"Sayang, kamu kenapa? Nggak biasanya loh, begini? Beberapa hari ini aku khawatir banget sama kamu yang nggak ada kabar sama sekali. Apalagi kemarin kamu telpon tapi kamu nggak bilang apa-apa. Semua pesan sama telponku juga nggak kamu balas lagi," oceh Damar. Dia kecewa dengan sikap Naya yang abai akhir-akhir ini.
"Sayang." Damar berusaha meraih tangan Naya untuk dia genggam. Namun kembali dia kecewa. Naya masih menolaknya seperti terakhir kali.
"Sayang ... tolong jangan seperti ini." dia memohon. "Aku sama sekali tidak setuju dengan jeda yang kamu buat waktu itu. Aku minta maaf, a-"
"Apa yang sebenarnya ingin kamu bicarakan, Dam?" sambar Naya langsung pada intinya. Dia cukup jengah dengan keadaan yang sangat menghimpitnya.
Terlebih rasa sakit yang Utami berikan terus berdarah-darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
almost 30
ChickLit"Menikah sebelum memasuki usia tiga puluh, haruskah?" Naya, seorang staff salah satu wedding planner ternama di kota Bandung mempunyai target pencapaian sebelum usia 30 dengan menikah. Namun, kisah cintanya dan Damar menemukan ujian. Orang tua Damar...