Bab 25

6.6K 694 28
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa, terimakasih. Selamat membaca.

Hati-hati, typonya banyak. 😅

***


Naya segera berdiri menyambut Utami. Berusaha memasang senyum walau Utami tetap memperlihatkan raut tidak bersahabat dan tatapan yang sulit dia artikan.

Sebelum Utami menepis tangannya seperti yang sudah pernah terjadi, Naya hanya menyapa dengan kata-kata.

"Tante," ucapnya, namun Utami memalingkan wajahnya. Naya terus memupuk kesabarannya. Mencoba memaklumi sikap Utami yang keras itu.

"Nak Bian, Tente boleh meminjam Naya sebentar? Ada yang ingin Tente bicarakan." tanpa membalas sapaan Naya, Utami jutsru langsung berbicara pada Bian yang juga menyambutnya.

"Maaf tante. Bisa kami selesaikan makan siang kami lebih dulu?" ujar Bian sedikit menyindir sikap Utami yang memang sangat tidak sopan menganggu makan siangnya.

"Silakan. Kalau begitu Tente permisi, Nak Bian." Dengan mengangkat dagu angkuh, Utami meninggikan meja Bian. Mengabaikan Naya yang termangu di tempatnya.

Bian mengikuti Utami dengan matanya. Dia menggelengkan kepala menahan banyak umpatan yang ingin dia lontarkan untuk Utami dalam hatinya.

"Mas Bian."

Panggilan Naya membuat Bian segera menoleh.

"Maaf. Sepertinya saya tidak bisa melanjutkan makan siang ini." Naya melirik piringnya yang masih menyisakan sepermpat dari menu makanannya. Bukan tidak menghormati Bian. Tetapi seleranya untuk melanjutkan lagi makan siangnya sudah hilang.

"Saya harus segera kesana," sesaat Naya menjeda, lalu kembali berkata. "Tanpa mengurangi rasa hormat saya, Mas. Kalau Mas Bian setelah ini mau langsung pulang tidak apa-apa. Saya nanti naik angkutan umum saja, Mas."

Setelah mengatakan itu, Naya langsung menyusul Utami.

Bian tidak mengatakan apapun. Dia membiarkan Naya meninggalkannya sorang sendiri disana. Walaupun dia ingin sekali berkata 'habiskan dulu makananmu,' tetapi lidahnya lagi-lagi mengkhianati hatinya.

***


Kedua tangan Naya saling meremas di bawah meja ketika tatapan mata Utami mengulitinya habis-habisan. Setengah mati dia menahan diri agar tetap bisa terlihat kuat di hadapan Ibu dari laki-laki yang sialnya masih sangat dia cintai itu.

Sebenarnya, sosok Utami tidak terlalu terlihat menakutkan. Tetapi kata-kata yang keluar dari bibir wanita paruh baya itu yang Naya khawatirkan.

Bertentangan dengan penampilan yang Utami hadirkan sebagai gambaran dari sosok seorang ibu yang berwibawa, lemah lembut dan bijaksana.

Sudah lima menit sejak Utami meminta waktu untuk berbicara, namun sampai detik ini pun belum juga ada pembicaraan di antara mereka.

"Beruntug sekali kita berjumpa disini. Jadi Tante tidak perlu repot-repot lagi mendatangai kamu." Utami membuka percakapan. "Sepertinya pertemuan pertama kita saat itu tidak cukup membuat kamu sadar dengan status sosialmu untuk berada di samping Damar, Naya."

"Bukankah seharusnya kamu sudah bisa melihat dengan jelas, jika kamu dan Damar itu tidak bisa bersama?" Utami memulai penjabarannya.

"Kalian tidak setara dalam hal apapun. Kalian berasal dari dua latar belakang dan cara hidup yang sangat berbeda. Damar sangat pemilih. Dia tidak pernah bisa masuk ke dalam hidup seseorang atau sebaliknya dengan sembarangan. Damar juga tidak pernah serampangan dalam mengambil keputusan."

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang