Bab 14

6.7K 784 7
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa. Terimakasih, selamat membaca.

****

Naya menguap lebar, rasa kantuk masih menyandranya. Tetapi sang waktu yang tidak bisa di ajak negosiasi memaksanya untuk segera beranjak dari tempat tidur.

Sambil berjalan menuju kamar mandi, Naya menggulung rambutnya tinggi-tinggi kemudian mencepolnya.

Beberapa menit berlalu, dia keluar dari kamar mandi dengan menggigil. Giginya bergemelatuk menimbulkan bunyi karena hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang.

Sejak kebodohannya menerobos hujan, kini ini tubuhnya perlahan-lahan memperlihatkan gejala-gejala kurang baik.

Sistem pencernaan dan pernafasannya mulai terganggu. Tenggorokannya terasa kering dan gatal, sedangkan hidung mulai tersumbat.

Tidak hanya itu, kepalanya terasa pening serta suhu tubuhnya pun terasa hangat.

Ketukan brutal pada pintu kamarnya, membuat Naya terburu-buru merapikan tampilannya.

"Sebentar," katanya setengah berteriak. "Sabar Ghani!" teriaknya lagi ketika ketukan tersebut tidak kunjung berhenti.

Naya membuka pintu kamar dan langsung dihadapkan dengan wajah bantal adiknya. "Kamu tahu sabar kan, Ghani?" ucapnya sebal.

"Tuh! Mas Damar jam segini udah dateng. Berisik tau! Dari tadi ngetuk pintu mulu," lapor Ghani kesal karena tidurnya terganggu.

Naya mengerutkan keningnya dalam, lekas melirik sekilas jam dinding digital di atas meja nakasnya yang baru menunjukkan pukul lima lewat lima pagi.

"Damar?" beonya tidak percaya.

"Iya Mas Damar! Masa iya genderewo jam segini. Kesiangan genderewo jam segini mah," oceh Ghani panjang.

"Sembarangan kamu kalau ngomong!" sembur Naya. "Kamu temenin aja dulu, teteh mau shalat dulu. Tadi bangun kesiangan."

"Yah teh, Ghani masih ngantuk!" rengek Ghani, menghentak-hentakkan kakinya seperti anak balita tantrum.

"Kamu kebiasaan banget, abis dari masjid tidur lagi."

"Ya ngantuk, teh!"

Naya memutar matanya jengah, kelakuan manja Ghani tidak berubah.

"Malu sama umur, Ghani!" tegur Naya, lalu menutup pintu kamarnya lagi.

***

Naya menyajikan teh hangat dan sepiring nasi goreng yang dia buat ke atas piring dan memberikannya pada Damar. Sebenarnya, Naya masih enggan bertemu dengam Damar. Tetapi, dia memaksakan diri demi terlihat baik-baik saja di depan Ghani.

Tanpa berbicara satu patah katapun, Naya menyantap sarapannya. Mengabaikan sepasang mata yang terus menatapnya tanpa berkedip.

"Teh, Ghani berangkat duluan, ya? Kan ada Mas Damar nanti yang nganter." Ghani berkata setelah menandaskan teh miliknya.

Naya menatap sang adik, bertanya dengan tatapannya.

Ghani melirik Damar yang memaku pada Naya seklias. "Ghani ada kelas jam delapan," jelasnya kemudian.

"Ya sudah kamu berangkat saja, Ghan. Nanti Naya berangkat sama Mas. Jangan khawatir," timpal Damar tanpa mengalihkan fokusnya. "Iya kan, sayang?" lanjutnya seraya tersenyum pada sang kekasih.

Naya mengangguk, terpaksa setuju.

"Kalau gitu, Ghani berangkat ya, Mas, Teh." pamitnya lalu beranjak dari tempat duduknya.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang