Vote dan komentarnya jangan lupa.
Terimakasih, selamat membaca.
Hati-hati typonya banyak.
***
"Sebaik apapun cara berpamitan, yang namanya perpisahan tetap saja menyakitkan."
-almost 30-
***
Dengan tergesa-gesa Naya memberhentikan taksi yang lewat karena dia sudah melewati batas waktu yang disepakatinya dengan Damar."Kemana ini Neng?" tanya sang supir taksi saat Naya sudah duduk di kursi penumpang.
"Jalan dulu Pak. Nanti saya beri tahu arahnya." Naya mengintruksi seraya mengatur pernafasannya.
"Baik Neng." sang supir mulai melajukan taksi dan berbaur dengan kendaraan yang lainnya di jalanan.
"Pak, maaf. Bisa lebih cepat?" Naya melihat kembali sang waktu. Kali ini jantungnya semakin berdetak cepat. Jarum jam tangannya sudah menunjuk angka delapan lebih lima belas menit. Dia benar-benar telat."Saya buru-buru," katanya lagi.
"Baik Neng." Sang supir taksi menaikkan kecepatannya, tidak berselang lama taksi tersebut pun sampai ditempat yang dituju.
Keluar dari taksi, Naya setengah berlari masuk kedalam Cafe. Dia sangat berharap Damar masih menunggunya didalam sana. Namun, dia termangu saat sampai didalam tidak menemukan lelaki itu disana. Dia hanya menemukan beberapa pengunjung yang masih tersisa dan karyawan.
"Maaf, ada yang bisa kami bantu?" ucap salah seorang karyawan Cafe menghampiri yang Naya.
"Mm,-mba. Eh, Mas. Tadi, liat tamu laki-laki tingginya sekitar 178 cm, kulitnya putih dan berjambang tipis. Terus-" Naya menjeda kalimatnya menyapu kembali setiap sudut Cafe, mencari seseorang yang mungkin memiliki sebagian ciri-ciri seperti Damar. "Rambutnya potongannya seperti, seperti mas yang di kasir."menunjuk barista yang sedang melayani salah satu pengunjung.
Sang karyawan sejenak mengingat ciri-ciri dari yang Naya sebutkan."Kalau saya tidak salah. Sepertinya tadi memang ada. Duduk disana. Tapi, tiga puluh menit lalu dia pulang," tutur sang karyawan.
"Pu-pulang." Naya mengulang dengan terbata.
Sang karyawan mengangguk sebagai jawaban.
"Ya sudah, Mas. Kalau begitu saya permisi. Terimakasih."
"Iya sama-sama. Silakan datang kembali dilain waktu."
Naya meremas ujung kemejanya dengan kuat saat keluar dari Cafe. Meski nyaris limbung, dia tetap berjalan tegak dan menguatkan hatinya jika kesempatannya bertemu lagi dengan Damar sudah tidak ada.
Lelaki itu benar-benar pergi tanpa mengatakan selamat tinggal padanya.
Kosong.
Hampa.
Beberapa detik berlalu, cairan bening dari matanya mulai merembes merubuhkan pertahanannya.
'Kamu pergi, Dam?' batin Naya bertanya-tanya. 'Kamu nggak nunggu aku? Kamu nggak mau bilang selamat tinggal sama aku?' lirih Naya. Ia sadar, jika menyesal sudah bukan waktunya.
Berjalan di tengah gerimis yang turun menerpa permukaan bumi, Naya membuka telapak tangannya. Menengadahkan wajahnya keatas untuk merespai gerimis yang berjatuhan. Air matanya semakin deras keluar dari kedua pelupuk matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
almost 30
ChickLit"Menikah sebelum memasuki usia tiga puluh, haruskah?" Naya, seorang staff salah satu wedding planner ternama di kota Bandung mempunyai target pencapaian sebelum usia 30 dengan menikah. Namun, kisah cintanya dan Damar menemukan ujian. Orang tua Damar...