Vote dan komentarnya jangan lupa, ya.
Hati-hati, typonya banyak.
Terimakasih. Selamat membaca.
***
Beberapa hari kemudian.Menopang dagu dengan satu tangan dan Satu tangan lain sibuk memutarkan bolpoin di atas permukaan meja berkali-kali itulah yang Bian lakukan dari lima belas menit setelah rapat selesai.
Raut wajahnya datar, namun bibirnya beberapa saat tersenyum kemudian berubah datar lagi.
"Kenapa sih lo, Bi? Kaya orang nggak waras. Dari tadi diem. Terus senyam-senyum. Gue kira Damar doang tadi yang keliatan aneh. Mana minta dimajuin lagi tanggal pemindahan itu orang! Ini lagi, tangan lo yang nggak mau diem!" cecar sekalgisu ngeri sembari menutup berkas yang baru selesai di pakai materi untuk rapat.
Bian hanya melirik Devan sekilas, kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Lo lebih aneh, ngapain bolpoin diperhatiin? Pulang bulan madu bukannya bini yang bunting. Malah lo yang bunting," balas Bian misuh-misuh. Lirikan matanya menunjuk perut Devan yang terlihat membuncit.
"Ini tandanya gue bahagia, Bi." Devan membela diri."Damar kenapa ngajuin pemindahannya lebih cepat seminggu? Bukannya dia belum sembuh bener, ya?" tanya Devan lagi, lebih penasaran.
"Bulan madu kelamaan gini, nih. Lo kaya orang baru keluar goa, lo!"
"Iya, gue abis semedi di goa sama Rara untuk mengusahakan buah hati." sahut Devan dengan menekan kata 'mengusahakan'."Gue nanya lo serius, Bi. Damar kenapa?"
"Nantilah, itu kita bahas."
"Nanti? Tumben lo? Lo nggak mabok, kan?" sarkas Devan yang berhasil mendapatkan lemparan bolpoin dari Bian.
"Sembarangan lo kalau ngomong!" Bian mendengkus sebal"Gue ngerasa, ada yang aneh sama gue aneh akhir-akhir ini," tuturnya kemudian.
"Emang lo aneh dari dulu. Apalagi sejak Rania nggak ada. Makin aneh lo." Devan berkomentar.
"Akhir-akhir ini, gue jarang banget mimpiin Rania." Bian tiba-tiba berkata.
"Ya justru bagus dong. Rania bisa tenang disana, tanpa lo hantuin terus," celetuk Devan.
Bian bangkit dari kursi dan berjalan menuju jendela besar dekat meja ruang rapat. Memandang jalanan di bawah sana dengan kendaraan yang berlalu lalang.
"Masalahnya, justru Naya yang sering hadir di mimpi gue belakangan ini."Sekilas Bian teringat pembicaraannya dengan Damar saat pesta pernikahan Devan berlangsung mengenai Naya. Lantas, apakah ini isyarat untuknya benar-benar harus menjaga gadis itu?
"Lo suka sama pacar orang, Bi?!" pekik Devan terkejut.
"Gue nggak tau. Dan gue nggak ngerti. Tapi gue nggak suka liat dia nangis," papar Bian, memorinya menjelajah pada saat Naya menagis dalam dekapan Damar beberapa waktu lalu.
"Tuh kan, lo mending telfon psikiater lo lagi deh, Bi. Kehaluan lo makin ngaco. Masa iya lo suka sama pacar orang," ceramah Devan.
Bian mengangguk saja, tanpa ingin menjelaskan jika hubungan Naya dan Damar telah usai.
"Apa gue perlu balik lagi ke inggris?" Bian menyahuti tanpa fikir panjang.
"Ah, jangan makin gila lo! Sekarang gue punya bini. Bisa ngamuk Rara kalau gue sibuk terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
almost 30
ChickLit"Menikah sebelum memasuki usia tiga puluh, haruskah?" Naya, seorang staff salah satu wedding planner ternama di kota Bandung mempunyai target pencapaian sebelum usia 30 dengan menikah. Namun, kisah cintanya dan Damar menemukan ujian. Orang tua Damar...