Bab 23

6.9K 666 10
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa, ya.

Hati-hati, typonya banyak.

Terimakasih. Selamat membaca.

***

Naya memeluk dirinya sendiri ketika angin berhembus membelai permukaan kulitnya. Kilasan-kilasan pengakuan Gendis yang membuat hatinya benar-benar hancur serta pertemuaan orang  tua Damar dan orang tua Gendis di lobi rumah sakit, kembali terputar dengan jelas di pelupuk matanya.

Mungkin, tadi Naya bisa menahan air matanya karena berada di ruang umum dan keberadaan Bian yang berusaha menghiburnya.

Tetapi kini, tanpa bisa di cegah lagi, cairan bening berhasil membentuk aliran sungai di pipinya.

Seandainya pengakuan Gendis tidak pernah dia dengar dan seandainya sikap manis orang tua Damar yang di tujukan untuk Gendis berlaku juga untuknya, mungkin saat ini dia bisa merasakan hangatnya sebuah keluarga. Bukan rasa sakit di dari rasa penolakan.

Mengusap pipinya yang basah, Naya menyadari jika harapannya itu terlalu tinggi dan hampa.

Helaan nafas kasar Naya kekuarkan setelahnya. Sekuat tenaga, dia menekan debit kesedihan-kesedihan selanjutnya.

Matanya tidak bosan melihat lagi perubahan angka yang merujuk pada waktu dalam layar ponsel dan keluar pagar.

Dia mendengus kesal. Kesabarannya pun mulai menipis.

Sudah lebih dari sepuluh kali Naya mondar mandir di depan teras rumah menunggu Ghani pulang. Tetapi adiknya itu tidak kunjung datang.

Detik demi detik dia hitung sampai bosan. Waktu sudah sangat larut. Lehernya pun sudah terasa pegal karena terus menoleh ke luar pagar.

"Kemana anak itu? Jadi lebih sering pulang malam banget," gerundenganya namun tetap khawatir.

"Lima manit lagi. Kalau-" perkataannya bel selesai. Suara sepeda motor Ghani terdengar. Pagar pun terbuka. Menampilkan sosok yang di tunggunya.

Naya melipat tangannya di depan dada. Memperhatikan Ghani memarkirkan sepeda motornya.

Setelah membalas salam yang Ghani ucapkan, Naya mengekori adiknya itu masuk ke dalam rumah. Dia menebalkan lagi sabarnya ketika Ghani mengambil jeda untuk mencuci tangan dan mengambil air minum.

"Jujur sama Teteh, kamu kemana aja? kenapa jam segini baru pulang?" cecar Naya mengikuti Ghani ke ruangan mereka biasa menonton televisi.

Sedangkan Ghani langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa dan menyimpan jaketnya sembarangan. Mengabaikan pelototan tajam kakaknya.

Naya memungut jaket Ghani dengan kesal. Dan meletakkan jaket tersebut pada sandaran sofa tempat Ghani berbaring.

"Kamu itu bisa nggak, naruh jaketnya yang bener!" semburnya ketika sang adik acuh saja. "Terus pertanyaan Teteh belum kamu jawab. Dari mana saja, jam segini baru pulang? Kamu tahu, ini jam berapa?" cecarnya lagi."Hampir jam sebelas malam, Ghani," penuh penekanan dalam mengatakannya.

"Di bengkel tadi lagi rame, Teh," ungkap Ghani sambil mengnyilangkan kakinya dan mulai mencari alasan."Jadi, tutupnya juga agak lama. Kalau nggak percaya tanya Husni, besok," tangannya dia lipat kebelakang kepala. Ekor matanya melirik sang kakak.

Naya menyingkirkan kaki Ghani untuk tempatnya duduk."Bener, kamu nggak bohong?" tanyanya belum puas.

Ghani bangun dari baringnya. Menggaruk tenggkuknya. Otaknya sudah sulit berpikir."Beneran Teh," terpaksa ia belum berani jujur tentang pekerjaannya di Cafe.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang