Bab 30

7K 723 14
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa, terimakasih. Selamat membaca.

Hati-hati, typonya banyak. 😅

***

Naya baru saja selesai memindahkan buket bunga pengantin Rara yang Bian berikan pada vas bunga kaca. Dia menatap sekumpulan bunga berwana putih yang sebelumya terikat itu lekat-lekat.

Aroma lembut mulai menggelitik indra penciumannya. Dia mengambil satu tangkai dan menghirupnya dalam-dalam. "Lily calla," dia menggumam. "Kemurnian dan kesucian," lanjutnya menyebutkan lambang dari bunga tersebut.

Bibirnya tersungging tipis, teringat kata-kata Bian sebelumnya. Tetapi, bayangan wajah Damar menari-nari di pelupuk matanya.

Setelah pertemuan terakhir kali, penampilan Damar sangat jauh berbeda.

Lingkaran menghitam, cekung pada bagian kelopak mata, dan pipi yang lebih tirus dari sebelumnya paling menyita perhatiannya.

"Apa aku terlalu jahat, Dam? Apa aku tidak boleh untuk egois demi ketenanganku?" gumamnya tanpa sadar. Naya akui dia merindukan lelaki itu, tetapi sekuat tenaga dia menyimpan rindunya itu.

Ketukan pada pintu kamar menarik Naya pada kesadarannya. "Kenapa Ghani?" katanya seraya melangkah untuk membuka pintu.

"Kenapa?" tanyanya setelah pintu terbuka.

"Laki-laki yang tadi, Mas Bian yang Teteh bilang waktu itu?" Ghani langsung melayangkan pertanyaannya. Mengorek informasi lebih tentang lelaki yang mengantarkan sang kakak dan berkenalan dengannya.

"Iya, kenapa memang?"

"Cuma tanya aja. Dia nggak macem-macem, kan?"

Naya mengerungkan kedua ujung alisnya heran. "Dia baik. Tapi, kenapa kamu nanyanya seperti itu?"

"Kenapa dia bisa gantiin posisi atasan Teteh yang baru melahirkan itu?" tuntut Ghani tidak menghiraukan pertanyaan sang kakak sebelumnya.

Naya menghela nafasnya, lalu membawa menggiring Ghani menuju ruang televisi. Naya menekan tombol remot untuk menyalakan layar datar berukuran 32 inchi di hadapannya dengan volume kecil.

"Mas Bian, adik sepupu Mbak Fani. Selama Mbak Fani cuti melahirkan, Mas Bian yang gantiin," jelasnya, lalu melirik Ghani yang sedari tadi menatap aneh padanya.

"Di luar dia adik sepupunya Mbak Fani, kalau Mas Bian macam-macam kasih tahu Ghani."

"Jangan suka su'udzon sama orang, Ghani."

"Bukan su'udzon, Teh. Antisipasi."

Naya memganggukkan kepalanya. Enggan berdebat."Nih, kamu mau nonton TV?" menyimpan remot di atas meja. "Teteh ngantuk mau tidur."

Ghani hanya geleng-geleng kepala seiring matanya mengikuti sang kakak yang masuk kembali ke kamar.

Tanpa Naya ataupun Ghani sadari, mobil Damar terparkir cantik di depan pagar rumah. Sang pemilik tetap fokus mengamati sampai lampu kamar Naya dimatikan.

Damar mencengkram stir mobilnya kuat. Sesak di hati mengimpitnya begitu kuat. Kebersamaannya bersama Naya sulit untuk ia lupakan. Naya adalah gadis yang benar-benar tulus mencintainya, tanpa syarat. Dan ia yakin tak akan menemukan sosok seperti itu lagi, di berbagai sudut dunia manapun.

Damar ingin sekali membawa Naya pergi jauh. Mereka menikah dan hidup bahagia. Tetapi khayalannya itu terlalu tinggi. Karena pada faktanya dia telah membuat kesalahan. Dia terlambat menyadari, mengapa tidak sedari dulu saja keluar dari rumah dan melawan kedua orang tuanya.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang