Bab 4

9.5K 855 9
                                    


Vote dan komentarnya jangan lupa, selamat membaca.

***

Bergandengan tangan, Naya mengantar Damar menuju mobil. Waktu yang cukup larut, membuat Naya mau tidak mau menyuruh lelaki itu segera pulang. Meski Ghani belum juga tiba dari bengkel.

"Beneran kamu berani sendiri?" Damar bertanya lagi.

"Aku berani, kok. Itu mah kamunya aja berlebihan," sahut Naya setengah mencibir.

"Sayang, tolong jangan bercanda."

"Aku serius, Dam."

"Baiklah." Damar menarik nafas sesaat untuk membuang khawatirnya. "Tapi Ingat, Kunci pintu dan pagar, oke?" tangannya menyelipkan helaian rambut Naya pada daun telinga.

"Iya bawel!" Naya membalas setengah sebal, namun tersipu. Tatapan Damar begitu intens. Membuatnya salah tingkah.

"Aku nggak bawel, sayang," desahnya kembali khawatir. "Masalahnya, kamu itu pelupa. Kalau nggak di ingatkan, yang ada kamu memang nggak bakal kunci pintu, apalagi pagar," sorot matanya sangat dalam.

"Iya, iya. Aku nggak bakal lupa." Naya memayunkan bibirnya.

"Bilang juga sama Ghani, jangan pulang malam terus. Kalau nggak mau liat aku nginep di sini besok!" tambah Damar.

"Iya, nanti aku sampaikan."

Damar meremas tangan Naya dalam genggamnya. Dia belum rela meninggalkan Naya seorang diri. "Aku mau kita nikah secepatnya sayang. Supaya aku nggak khawatir terus sama kamu seperti sekarang."

"Dam," lagi, hati Naya pilu mendengarnya. Jika saja lelaki di hadapannya lebih jeli. Bola matanyanya sudah berkaca-kaca.

"Kamu jangan khawatir, Aku akan bilang sama Ibu dan Ayah untuk lamar kamu secepatnya." Damar semakin mendekatkan wajahnya untuk mengecup kening Naya sebagai bentuk ucapan selamat malam sebelum dia benar-benar pulang. Namun, sinar lampu dari sepeda motor menyorot tepat pada wajahnya, membuat Damar menggeram kesal dan langsung mengambil jarak. "Ghani, ganggu aja!"

Sedangkan Naya segera memalingkan wajahnya ke segala arah, membuang air matanya yang berhasil lolos.

Melihat hal yang mencurigakan, Ghani memarkirkan motornya asal. Sambil berjalan menghampiri kakaknya dan Damar, dia melihat jam tangannya. Persis seperti hansip yang menangkap basah sejoli anak muda berpacaran di atas jam sembilan malam.

"Wah, wah! mau nyosor-nyosor aja. Jangan mesum disini ya, Mas!" Ghani menegur tanpa basa basi. Lalu menyembunyikan sang kakak di balik tubuh tingginya. Sampai dia lupa belum melepas helmnya.

"Ghani laporin Pak RT ya, Mas! Jam segini masih disini," ancam Ghani tidak main-main.

"Siapa yang mau mesum? Mas itu dari tadi tunggu kamu pulang, Ghani. Mas nggak tega ninggalin kakak kamu sendiri," ungkap Damar tidak sepenuhnya salah. "Kalau kamu mau laporin Pak Rt, laporin aja. Nggak takut."

"Tapi, nggak pake nyosor-nyosor ya, Mas! Kalau tetangga liat, bisa jadi bahan gosip yang bisa merugikan Teh Naya. Jangan sembarangan main sosor-sosor. Halalin dulu, baru nyosor!" sambar Ghani telak membuat Damar kikuk.

"Ghani, udah-udah!" Naya melerai sekaligus mencairkan suasana yang mulai panas. "Kamu mending copot helm dulu. Terus masuk. Mas Damar udah mau pulang, kok."

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang