Bab 17

6.8K 743 13
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa. Terimakasih, selamat membaca.

***

"Kamu yakin, adik kamu bisa jemput?"

Bian bertanya saat adik dari gadis yang masih terlihat agak pucat dan lemas itu tidak kunjung tiba. Setelah infus habis dan Fani pun berhasil melahirkan seorang putra, dia mendapatkan mandat untuk mengantar Naya pulang, tetapi gadis itu menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan.

"Bisa Mas. Tadi sudah saya kirim pesan, kok," sahut Naya masih dengan suara bindenganya yang berat.

"Kalau adik kamu tidak baca pesan itu bagaimana?"

"Saya yakin dia pasti baca, Mas."

"Kalau dia masih sibuk kerja bagaimana?"

Sejenak Naya berpikir,"Dia sudah janji hari ini tidak pulang terlalu malam," jawabnya kemudian.

"Baiklah, kita tunggu lima atau sepuluh menit lagi. Kalau adik kamu itu tidak datang juga, saya antar kamu pulang," putus Bian tidak menerima penolakan.

Naya hanya diam. Berharap Ghani segera datang.

"Waktu itu, kamu bilang sama saya kalau kamu hanya tinggal berdua sama adik kamu, bukan?" tanya Bian tiba-tiba membuat Naya menoleh lagi padanya.

"Iya Mas. Kita hanya tinggal berdua saja," jawab Naya jujur.

"Orang tua kamu,- Maaf, maksud saya ibu atau ayah-"

"Kedua orang tua saya sudah meninggal sejak saya masih remaja, Mas," selak Naya dengan senyum setengah tersungging dari ke dua sudut bibirnya."Tepatnya, waktu saya kelas satu SMA dan adik saya baru masuk SD, Mas," sambungnya lebih jelas.

Kedua bola mata Bian menyorot redup wajah pucat di sampingnya. Hatinya berdesir pilu. "Maaf, saya tidak bermaksud," ucapnya penuh rasa bersalah karena telah menyinggung hal yang sangat sensitive untuk gadis itu.

"Tidak apa-apa, Mas. Saya maklumi," tutur Naya. Bibir pucatnya sedikit tertarik ke atas. Iris matanya menatap Bian dengan dalam. Batinya lantas berkata-kata.'Mas Bian kok tumben, ngomongnya panjang? Nggak pedes lagi.'

"Kenapa kamu liatin saya seperti itu? Saya ganteng?"ujar Bian saat Naya tertangkap basah menatapnya tanpa berkedip.

"Ti-tidak!" Naya langsung memalingkan wajahnya. Dia malu sekali.

Bian mengangkat satu sudut bibirnya, merasa lucu akan ekspresi wajah gadis di sampingnya."Kalau kamu mau bilang saya ganteng, bilang saja. Ibu saya juga suka bilang, kalau saya ganteng."

Dengan ekor matanya, Naya melirik sebal. 'Narsis juga ternyata,' batin Naya lagi.

Bian hanya terkekeh kecil, menanggapi hal itu."Lalu, setelah kedua orang tuamu tidak ada, saudara yang lain?"

"Saudara dari kedua orang tua saya tinggal di luar kota, Mas. Mereka mengunjungi kami hanya sebulan sekali."

Bian manggut-manggut saja. Mengetahui beberapa hal tentang kehidupan Naya, tidak terlalu buruk, fikirnya.

Namun tetapi, perkataan Devan benar. Sejak kapan dia mulai peduli dengan kehidupan orang lain?

Bian memejamkan mata. Telinganya tiba-tiba bersngung dengan hebat. Bayangan Rania yang tetap hidup dalam hatinya muncul begitu jelas. Tapi tidak begitu lama, karena bayangan itu perlahan memudar di gantikan dengan bayangan sosok lain yang tidak kalah cantik.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang