Bab 6

8K 855 8
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa. Selamat membaca.

***

Naya menumpahkan air mata yang sejak tadi dia tahan di toilet. Jujur saja hatinya sangat terluka.

Puas menangis. Naya membasuh wajahnya dengan air keran. Beberapa saat dia memandang pantulan wajah sembabnya. Buliran bening itu kembali berlomba melewati pipinya.

Dia merasa di khianati? Benarkah itu? Hatinya meraba.

Bayangan Damar tertawa dengan orang tua Gendis tanpa beban tadi, semakin nyata. Jantung Naya semakin teremas kuat dan menyesalkan dirinya yang manurut saja pada Gendis.

Seharusnya, dia tetap menolak.

Naya memejamkan matanya. Memorinya menjelajah pada tiga tahun lalu.

"Ketiga kalinya kita bertemu, aku semakin yakin kalau kita berjodoh, Naya," cetus Damar setelah mendengarkan Naya mengulang menu yang dia pesan.

Setelah pertemuan kedua mereka di Cafe satu bulan lalu, kali ini mereka bertemu lagi dan secara tidak sengaja di restauran tempat Naya bekerja.

Naya tidak mengeluarkan satu patah katapun. Dia hanya memilin ujung kertas kecil di tangannya, kemudian mendeham dan berkata.

"Maaf, pesanannya mohon di tunggu sepuluh menit. Jika ada yang ingin di tambahkan bisa panggil saya, Naya," memilih tidak meladeni Damar. Mempertahankan ke professionalannya dalam bekerja, karena Naya yakin Damar hanya bermain-main dengan kata-katanya.

"Permisi." Naya hendak undur diri, tetapi panggilan Damar mengurungkannya.

"Naya."

"Ya, ada yang ingin di tambahkan?" sahut Naya dengan senyum melengkung membingkai wajah cantiknya.

"Boleh aku pinjam bulpennya?"

Kerutan samar nampak pada dahinya sesaat, lalu berkata."Iya, silakan," menggulirkan bulpen tersebut pada Damar.

"Boleh kertasnya sekalian?"

Naya semakin bingung, namun tetap memberikan kertas catatannya pada Damar.

"Ini nomor ponselku, nanti kamu simpan."

Naya membasuh lagi wajahnya saat tersadar sudah terlalu lama di toilet. Naya juga beberapa kali mendeham, mencoba memperbaiki pita suaranya yang berat sebelum kembali ke mejanya dan Fani tadi.

Naya tidak ingin jika wajah sembab serta suaranya yang berubah mengundang pertanyaan Fani.

Naya menarik nafas sebanyak-banyaknya. Membuang sesak di dadanya dan keluar dari toilet.

"Maaf ya mbak, aku lama. Tadi toiletnya penuh, ngantri jadinya," ujar Naya beralasan seraya mendaratkan bokongnya pada kursi tempatnya tadi.

"Nggak apa-apa kok, Nay. Iya kan, Bi?" Fani menyikut Bian yang menatap Naya tajam.

"Lalu, apa karena toiletnya penuh dan mengantre, sampai membuat kamu menangis?" sarkas Bian membuat Naya langsung kikuk.

Fani langsung mencubit paha adik sepupunya itu tanpa ampun. Tidak bisakah Bian berpura-pura tidak melihat wajah sembab Naya? batinnya kesal.

"Si-siapa yang menangis, Mas? Saya, saya tadi-"

"Udahlah Nay. Bian nggak usah kamu ladenin. Kita pulang yuk! Udah selesai ini," serobot Fani mengalihkan pembicaraan.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang