Bab 3

10.8K 1K 15
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa, selamat membaca. 😅

*

*

*

"Ghanindra!"

Naya memanggil untuk kesekian kalinya. Tangannya tidak henti mengetuk kamar Ghani yang terkunci dari dalam sana.

Wajahnya tampak gusar ketika melihat jam tangannya sudah menunjukkan nyaris pukul delapan. Dan ia sudah berdiri di depan pintu kamar Ghani selama lima belas menit.

Tadi, pagi sekali Damar memberi kabar tidak bisa mengantarnya bekerja karena lelaki itu harus datang lebih pagi ke kantor. Dan dengan tegas menyuruhnya untuk berangkat bersama Ghani.

Sebetulnya, Naya tidak pernah mewajibkan Damar mangantar atau menjemputnya bekerja. Karena dia masih mampu menggunakan transportasi umum. Tetapi Damar melakukan hal tersebut tanpa paksaan darinya.

"Telat deh, aduh!" desahnya putus asa. "Ghani!" Naya semakin keras mengetuk pintu kamar itu. "Ghanindra, bangun!" teriaknya lagi.

Cklek!

Naya memundurkan tubuhnya saat knop pintu terputar dari dalam, dan menampilkan Ghani sambil menguap lebar. "Apa sih, Teh? Berisik," protesnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Naya menatap nyalang sang adik. Satu tangannya sudah bertolak pinggang. "Kamu tahu, ini jam berapa?"

"Masih pagi, Teh," sahut Ghani sambil menguap lagi.

"Masih pagi gundulmu! Teteh bisa telat ini Ghani. Makanya kamu kalau habis subuhan, jangan tidur lagi!" cerocos Naya tanpa memberikan kesempatan Ghani berbicara.

Ghani berdecak kemudian mengacak rambutnya kesal karena tidurnya tetganggu. "Pagi-pagi tuh, yang manis kenapa sih, Teh? 'Selamat pagi, adik gantengku' misalnya. Bukan marah-marah."

"Tadinya Teteh juga nggak mau marah-marah. Itu kamu liat! Sekarang jam berapa?" Naya menunjukkan jam tanganya tepat didepan wajah Ghani.

Sesaat Ghani menyipitkan matanya dan membawa tangan kakaknya lebih dekat. "Jam delapan. Lebih dikit, lah." ucapnya santai. Namun, sedetik kemudian matanya membola. "Eh!? Jam delapan lebih?" memekik panik. "Ghani ada kuliah pagi, Teh. Kenapa nggak bangunin dari tadi?!"  langsung melesat masuk lagi ke dalam kamar. Membuka lemari pakaian, kemudian mengambil handuk untuk mandi.

Naya menggeleng heran, lantas menghela nafas kasar. Jika sudah seperti ini Ghani tidak bisa dia harapkan. Maka dia memutuskan untuk berangkat terlebih dahulu. "Ya sudah. Teteh mau berangkat pake ojek mang Duloh aja di depan. Kamu jangan lupa kunci pintu," ujarnya saat Ghani hendak masuk ke kamar mandi.

"Ghani mandinya bentar kok, Teh. Tunggu aja!" teriak Ghani dari dalam kamar mandi.

Naya melihat lagi jam tangannya dan menimbang. "Ya udah, cepetan!" tukasnya.

Selagi menunggu Ghani mandi, Naya membereskan kamar yang cukup berantakan tersebut. "Dasar laki-laki. Nggak bisa gitu, beberes. Rapih. Ghani, Ghani," omelnya seperti seorang ibu mengomeli anaknya.

***

Sapuan angin yang terlewati sepanjang jalan membelai pipi Naya cukup kasar. Sesekali dia membenarkan beberapa helai rambut yang keluar dari helm, mengganggu pandangannya.

"Mandi, apa tayamum tadi?" tanya Naya memecah keheningan.

"Mandi lah Teh. Masa iya, cowok ganteng kaya Ghani gini cuma cuci muka doang," jawab Ghani membuat Naya mendecih.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang