Bab 15

7K 781 11
                                    


Vote dan komentarnya jangan lupa, terimakasih. Selamat membaca.

***

"Pak Raka?"

Damar memberanikan diri menyapa dan mendekati Bian, mengabaikan apa yang ibunya perintahkan tadi.

"Pak Raka, betul? Anda Pak Raka Bian Pratama bukan?" ulang Damar meyakinkan dengan menyebutkan nama lengkap Bian.

Bian berdiri menyambut Damar. Pandangan menilai Bian jatuhkan pada kekasih dari gadis yang sedang dia tunggui saat ini.

Dan laki-laki seperti inikah tipe laki-laki yang Naya sukai?

Menggelengkan kepalanya samar, membuang isi fikirannya itu. Untuk apa dia harus perduli? Batinnya memperingatkan.

"Betul. Saya Raka," sahutnya tenang.

"Ah! saya senang sekali akhirnya di beri kesempatan dapat bertemu dengan anda secara langsung." ungkap Damar jujur.

"Saya juga senang dapat bertemu dengan anda, Pak Damar." Bian mengulurkan tangannya terlebih dahulu sebagai salam perkenalan.

Damar menjabat tangan Bian dengan segan."Kalau begitu, bagaimana dengan secangkir kopi di kantin, Pak?" dia memberi penawaran.

Bian berfikir sesaat, batinnya berbisik untuk menerima tawaran tersebut. Bukankah sambil menunggu Naya sadar tidak ada salahnya, fikirnya.

"Mari," putus Bian menerima ajakan terebut. Dan berjalan bersama dengan Damar menuju kantin rumah sakit.

Setelah memsan kopi dan coklat hangat, Damar memilih sudut kantin, untuk mereka berbicara.

Tentang coklat hangat, detik itu juga terlintas gadis cantik yang tadi pagi tiba-tiba meminta jeda padanya.

Damar mencoba mengerti dengan Naya tadi pagi. Sepertinya gadis itu sudah lrlah memunggu kepastiannya. Dan dia sudah membulatkan tekad akan melamar gadis itu nanti malam. Walapun Damar tahu, ibunya akan menentang.

Sempat mengabaikan kehadiran Bian, Damar segera menarik senyumnya, dia tidak ingin jika Bian mengira dirinya gila.

"Bapak sedang mengunjungi seseorang atau," Damar membuka obrolan tanpa kalimat utuh.

"Saya sedang menunggu kakak sepupu saya yang akan melahirkan," jelas Bian tanpa memberi tahukan keberadaan Naya di rumah sakit ini.

"Anda sendiri?" tanya Bian.

"Saya sedang mengantar ibu saya menjenguk anak dari teman ayah saya. Sekaligus teman masa kecil saya," jawab Damar tanpa ada yang dia tutup-tutupi.

Bian mengangguk mengerti. "Bagaimana dengan jabatan baru anda, Pak Damar?" Bian mengalihkan pembicaraan.

"Sebelumnya terima kasih atas jabatan ini, Pak Raka. Untuk permulaan, jujur saja beban jauh lebih berat," imbuh Damar di akhiri kekehan.

Bian tersenyum lantas berkata. "Saya akui. Setiap pekerjaan dan posisi jabatan itu memang mempunyai beban kerja sesuai tingkatannya."

"Betul sekali, Pak."

"Kamu itu, ibu cari malah ngobrol!" sembur Utami yang tiba-tiba muncul ditengah pembicaraan putranya dengan seseorang yang memunggunginya.

Damar mendongak mendengar omelan ibunya. "Ibu?" Ucapnya tanpa suara dan langsung berdiri dari tempat duduknya. Menghampiri ibunya yang berdiri dibelakang Bian.

"Ibu tunggu dari tadi kamu malah asyik-asyikan disini! Gendis itu nyari kamu."

"Nanti, Bu. Nanti Damar kesana," bisik Damar mencoba bersabar dengan sikap ibunya yang kurang sopan.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang