6 ¦ Menyebar

48 11 0
                                    

11 September 20xx

Semalaman aku tidak tidur. Bayangan akan pagar yang terbuka lalu orang-orang itu masuk dan memporak-porandakan isi kos membuat ku siaga. Barang semenit pun otakku menolak untuk memejamkan mataku. Sangat jahat.

Subuh datang, suara azan tidak terdengar lagi seperti biasanya. Keheningan di gang ini membuat semua orang menjadi sangat waspada. Sementara di luar gang, keadaan sepenuhnya berbeda 180°.

Memang sudah tidak ada suara sirine terdengar, tapi suara teriakan di kejauhan masih menggema selama semalaman. Karena hal itu juga aku tidak bisa tidur. Mendengar jeritan ketakutan bercampur putus asa tidak pernah terbayang oleh ku sampai saat ini.

Aku melihat ke kiri, terlihat Diva sedang tertidur dengan pulasnya. Oh aku iri.

Tiba-tiba keadaan menjadi sangat hening diluar sana, tidak ada lagi suara teriakan, ledakan, tabrakan ataupun kehancuran lainnya. Keadaan ini membuat seisi kamar menjadi semakin hening, bahkan suara detak jantung ku yang cepat bisa terdengar tanpa teleskop dan napas kami berdua Diva saling bertukar kabar dalam kamar sempit ini.

"Allahu Akbar. Allahu Akbar."

Hah? Suara azan? Kenapa mereka?

Ah sudahlah.

Aku bangun, membuka pintu menuju kamar mandi yang berada tepat di samping kamar Diva. Aku melihat pintu kamar mandi itu terbuka sedikit, ku buka pintu lalu terlihatlah tumpukan penghuni-penghuni kos dengan badan basah bersimbah darah. Mereka melihatku dengan mata putih mereka. Aku terkejut, berlari masuk kembali ke kamar dan mengunci pintu. Melihat Diva yang masih tertidur.

"Div! Diva!"

Diva terbangun, ia mendekatiku lalu mengoyak lengan ku. Sakit. Tentu saja sakit. Aku terjatuh, Diva masih berdiri, mengunyah daging lenganku. Darah mengucur dengan deras. Aku tidak bisa bergerak, sakit di lenganku membuat pandangan menjadi kabur. Diva telah selesai mengunyah ia melihatku dan berteriak memanggil namaku.

"Dit! Dit!"

Goyangan halus bisa kurasakan di lenganku. Ah, apakah aku sudah mati?

"Dit!"

Loh ada Diva juga.

"Bangun. Kau dengar di luar tuh ribut."

Hah? Ha?!

Aku masih hidup?! Ternyata tadi hanya mimpi.

"Apa?" tanya ku masih sedikit shock karena mimpi tadi.

"Kau dengar diluar tu."

Aku memasang telinga dengan baik. Benar saja, terdengar keributan di luar sana. Bukan dari dalam kos tapi dari luar. Aku membuka kamar pelan, sebagian penghuni kos sudah keluar dari kamar. Terlihat dari wajah mereka sedang menetralkan perasaan takut.

Aku berjalan kearah balkon untuk melihat apa yang terjadi. Banyak warga sedang berkerumun di depan kos, lebih tepatnya di depan rumah salah satu warga. Aku mengintip, memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi.

Seorang nenek tua yang terlihat pucat sedang ditarik oleh sebagian warga, sedangkan sebagian lagi menahannya dalam pelukan. Aku mengeluarkan kepalaku dari pintu balkon. Wah terlihatlah dengan nyata, kaki nenek itu sudah tergigit. Tentu saja warga tidak ingin nenek itu ada di lingkungan ini, tapi bagaimana dengan keluarganya? Mereka menangis menahan nenek itu yang sudah lemas karena tarik menarik.

Kenapa bisa dia digigit? Apakah ada lagi yang terjangkit selain dia? Seharusnya ada. Apakah salah satu keluarganya?

Huhh. Mereka harus segera merelakan sang nenek. Jika tidak, keselamatan warga yang akan berbahaya.

Sebenarnya, mereka juga mengatakan berbagai hal, tapi aku tidak mengerti. Mereka menggunakan bahasa Jawa. Di telinga ku bahasa itu seperti "udhduxnaaisiadjdbcusbbandxudj" jika dihasilkan dalam tulisan.

"Mereka bilang apa Div?" tanyaku ke Diva yang kebetulan adalah orang Jawa.

"Nenek tu harus ke rumah sakit. Nda bisa dibiarkan disini."

Aku mengangguk menyetujui perkataan warga, tapi apalah daya keluarganya tidak bisa merelakan nenek tua itu pergi.

Aku menutup kembali pintu balkon lalu berjalan kembali ke kamar. Tugas menyampaikan apa yang terjadi telah diambil alih oleh Kak Sinta, salah satu penghuni kos yang kamarnya berada di balkon.

Suasana menjadi lebih tak terkendali semenjak semalam. Jumlah pasien bertambah banyak sampai berpuluh kali lipat. Sebuah saluran televisi ada yang menerbangkan sebuah helikopter di atas langit Malang untuk melihat bagaimana keadaan jika dilihat dari atas. Terlihatlah banyak sekali orang-orang yang terinfeksi berada di jalanan. Mungkin puluhan ribu.

Jika sebanyak ini, tidak menutup kemungkinan ada satu atau dua orang terinfeksi yang berhasil keluar dari Malang.

Mereka terlihat sama dengan film yang sering aku tonton tentang zombie. Badan mereka pucat, urat-urat menonjol keluar, kulit mereka terlihat kering, darah mereka tidak lagi merah segar melainkan hitam pekat nan kental, mata mereka tidak lagi terlihat warnanya hanya putih dengan sedikit bintik hitam mengerikan, mulut mereka terlihat merah dan hitam karena darah segar yang berasal dari mangsa mereka, berjalan tak tentu arah, dan saat ada orang yang belum terinfeksi melintas mereka dengan brutal menyerangnya.

Aku tidak ingin menjadi seperti itu. Kami tidak ingin seperti itu. Siapa yang ingin seperti itu? Bahkan orang yang tidak waras saja pasti tidak ingin.

Pagi ini sudah tidak terdengar suara sirine ambulans lagi. Rumah sakit sudah tidak terdengar lagi kabarnya. Saluran televisi masih menyiarkan berita yang sama seperti kemarin. Komunikasi mereka terputus dengan orang-orang penting yang ada di Malang.

Sepertinya daerah ku ini masih belum sepenuhnya tertular. Terbukti dari orang-orang yang bertengkar tadi. Seharusnya aku bersyukur, tapi pikiran aneh terus menjalar diotak ku.

"Dit." panggil Diva lirih menunjuk layar laptop.

Aku mendekatinya, melihat judul berita yang ada di layar.

"Malang dan beberapa kota di Jatim telah terjangkit."

_W_

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang