42 ¦

4 1 0
                                    

Sesaat yang lalu Kulkas menyusuri rumah ini dan mendapatkan tongkat panjang dari salah satu kamar. Aku kenal tongkat itu, tongkat dengan panjang sekitar seratus enam puluh sentimeter dengan warna merah putih di seluruh bagiannya, tongkat pramuka.

Dia kemudian meruncingkan ujungnya. Mengingatkanku pada sejarah bambu runcing sebagai senjata perlawanan.

Puas dengan hasilnya dia kemudian memberikannya padaku yang hanya memiliki tinggi seratus empat puluh sembilan sentimeter ini. Bagaimana caranya menggunakan senjata yang lebih tinggi dariku? Kulkas melihat sejenak saat aku mendirikan tongkat tinggi ini di sampingku. Sedikit paham dia kembali mengambil tongkat dan kembali meruncingkannya sampai bisa dipakai oleh manusia cilik sepertiku.

Selesai membuat senjata kami kembali mengintip kondisi jalanan yang masih sama keadaannya. Makhluk-makhluk buruk rupa itu masih berkeliran di sepanjang jalan.

"Kamu lapar?" tanyanya tiba-tiba.

Tanpa menunggu jawaban ia mengambil satu kaleng kornet dari tas belanjaan yang sangat sempat diambil sebelum kami berlari.

"Cuma dapat satu," ujarnya membuka lalu memberikan kaleng bundar ini padaku.

Bagaimana mungkin ada orang yang tidak egois di dunia yang sedang hancur ini? Jika dia adalah aku, kornet ini akan aku sembunyikan untuk diriku sendiri.

Iya aku egois, lalu kenapa? Tidak ada salahnya egois di saat seperti ini. Walaupun aku benci manusia, tapi aku juga manusia. Butuh makan dan bertahan hidup.

Aku memakan kornet ini menggunakan tutupnya yang sudah Kulkas sulap menjadi sendok. Enak sekali~

Aku akan menghabiskannya!

Tentu saja tidak boleh. Aku harus menahan diri. Disaat seperti ini biasanya manusia hanya akan memakan setengah lalu membaginya dengan orang lain. Aku juga harus seperti itu.

Kumakan lagi sesendok kornet yang begitu mewah ini, lalu memberikannya pada Kulkas yang sempat menolak sambil memakan rotinya.

"Tukaran," kataku agar dia mau mengambil kornet yang tersisa setengah ini. Akhirnya dia mau. Diambilnya kornet lalu memberikanku rotinya. Roti dengan diameter tujuh senti ini pun dia sisakan setengah untukku. Benar-benar pertukaran yang bagus.

Sementara Kulkas menghabiskan makanannya aku berjalan ke arah jendela. Kuteguk segarnya air mineral sembari melihat keadaan di bawah. Aku benar-benar heran. Bagaimana mungkin? Tempat yang tadinya sepi seketika menjadi ramai akan zombie yang berkeliaran.

Keberadaan kami berdua yang sering mengintip dari jendela ini dipastikan tidak akan terlihat dari bawah karena lebatnya pohon yang berada di halaman. Membuatku leluasa untuk menengok kanan kiri tanpa khawatir.

Aku ingin mencari keberadaan kendaraan yang sekiranya bisa kami pakai untuk melanjutkan perjalanan, tapi aku sama sekali tidak menemukan satupun. Sejauh yang aku lihat tidak ada satupun mobil atau motor di jalanan.

Heh?

Ada suara! Itu suara apa?!

Aku berbalik menghadap Kulkas yang sudah berada di belakangku. Kami berdua diam sambil berusaha mendengar kembali suara bergemuruh yang semakin terdengar jelas.

Bukan. Bukan suara zombie, tapi seperti suara ... helikopter? HELIKOPTER?!

Kami berdua tanpa basa-basi berhimpitan di jendela, melihat langit biru yang indah. Mencari keberadaan helikopter yang terdengar semakin mendekat. Zombie-zombie di bawah sana pun ikut sibuk mencari asal suara.

Oh? Itu dia.

Helikopter. Itu benar helikopter!

Zombie-zombie di bawah serentak berlari kembali ke sawah. Mengikuti helikopter yang terbang menjauh. Sementara kami diam seribu bahasa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang