20 ¦

29 5 0
                                    

Pagi datang lagi. Ku kira kami akan tetap bergerak, ternyata tidak. Mereka memutuskan akan melanjutkan perjalanan jika gelap dan dinginnya malam kembali menyelimuti.

Mobil kami sekarang berada di kerumunan mobil-mobil yang berserakan. Ada yang kacanya hancur, bannya kempes, pintunya terbuka, ada juga yang terbalik. Oh tidak lupa darah kering dan tumpukan mayat-mayat tak berdaging bersebaran di luar serta di dalam mobil.

"Kenapa kita ada di tengah sini?" tanyaku ke siapa pun yang sudah bangun di truk kami ini.

Sayang dan tak beruntungnya aku. Si Kulkas lah yang sudah bangun.

Dia diam. Aku menunggu jawaban.

Dia masih diam. Aku juga masih menunggu jawaban.

Sekarang aku tahu bagaimana rasanya saat orang bertanya padaku dan aku hanya diam. Pura-pura tidak mendengar.

Seperti karma, tapi kenapa harus sekarang?!

Tuk

Ketukan itu berhasil membuat Kulkas bergerak.

Seharusnya tadi aku mengetuk sebelum bertanya. Terbukti dia langsung mengintip dari tirai yang terpasang di bak belakang truk.

"Komandan," serunya saat satu orang naik.

"Masih tidur?" tanya Komandan Gary yang hanya menatap satu titik. Tidak melihatku yang sedang duduk dan bersender di truk, tepat di kanannya.

"Masih," jawab si Kulkas membuatku sontak menutup mata. Ini yang kau maksud kan?

"Kenapa kita berhenti di sini Ndan?" tanyanya lagi.

Ah, pantas saja dia diam. Ok bisa dimaafkan. Tapi tidak perihal lutut.

"Di sini aman. Walaupun banyak kendaraan yang sudah hancur, tidak ada tanda-tanda manusia terinfeksi yang masih aktif di sini."

Mengerti. Sangat mengerti. Terima kasih jawabannya Komandan.

"Jika sudah bangun bagikan makanan. Jika ada yang ingin buang air ditemani. Jika ada yang sakit beritahu Bagas."

"Siap Ndan." kurasa dia sedang hormat.

Komandan turun dari truk. Aku membuka mata, ingin protes ke Kulkas.

"Sudah terjawab." ujarnya ketus sembari duduk kembali.

"Ya sudah dengar." aku menjawab tak ingin kalah.

Keadaan kembali hening. Beberapa jam setelahnya beberapa orang bangun lalu diikuti yang lainnya.

Sekarang sudah jam sembilan. Bayangkan dari jam enam sampai sekarang, aku harus bertarung dengan sengit melawan keheningan dan kecanggungan diantara aku dan Kulkas.

Dia tidak bersuara, sesekali hanya berdehem di tengah tidur ayamnya. Aku pun seperti itu, bahkan deheman saja tidak mau kukeluarkan. Aku menang dalam permainan ini. Tidak ada yang bisa mengalahkan ku dalam permainan saling diam ini Kulkas. Bahkan jika hanya kita berdua di truk ini, aku tidak akan pernah mengeluarkan suara satu pun. Akuilah kehebatan ku ini, haha.

Kulkas bergerak mengeluarkan makanan dari kotak yang berada disampingnya. Satu kantong roti keluar lalu botol-botol kecil air mineral. Ugh, menambah sampah plastik saja.

Aku tidak mengambil roti, karena aku tidak bisa makan pagi. Bisa-bisa aku akan mencari toilet nanti. Aku tidak mau keluar dari truk ini.

"Dit." panggil Diva.

Aku melihatnya. Apakah rotinya kurang? Seharusnya aku tetap mengambil roti dan memberikannya ke Diva.

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang