31 ¦

30 6 0
                                    

Tidak kusangka akan bertemu Komandan Gary lagi. Aku kira, mungkin, dia sudah tidak ada, maksudku jiwanya. Dengan banyaknya zombie yang menyerang, sangat kecil kemungkinan beliau bisa selamat, apalagi berada di garda terdepan saat semuanya menjadi kacau, tapi aku juga tidak bisa bohong, aku senang dia masih hidup walaupun keadaannya sangat tidak baik.

Tidak tahu bagaimana bisa, darah beserta cairan tubuh lain membasahi kaki kirinya. Luka terbuka terlihat sangat mengerikan menghiasi kaki bagian atas. Disamping Komandan seorang tentara sedang membersihkan lukanya, dia menyiram luka itu dengan air lalu melilitnya dengan kain kering. Tak jauh dari tempat Komandan duduk, setumpuk kain berwarna merah menambah penjelasan bahwa luka itu sangat parah.

"Kita mau pergi setelah aku cek senapan ke atas. Untung kita ketemu."

Yah untung sekali.

"Tapi, kita sudah nda ada kendaraan. Kalau harus bawa orang sebanyak ini." sambungnya frustasi.

"Banyak mobil di luar. Kita bisa pakai itu." kata Kulkas masih menatap Komandan yang menutup matanya.

Tentara tadi selesai membersihkan luka, dia berdiri lalu menggeleng sembari mengelap tangannya yang berdarah.

"Jalanan penuh sama Mobil Ga. Kalau kita pindahin semuanya bakalan lama banget. Komandan harus cepat dapat pengobatan, dan transfusi darah. Mau nda mau kita harus jalan cari rumah sakit."

Angga membawa mereka menjauh, berbisik untuk membahas strategi selanjutnya. Aku tidak paham kenapa mereka harus menjauh seperti itu, kami sudah menjadi satu kelompok, seharusnya kami juga harus tau apa yang ingin mereka lakukan. Bukannya hanya menuntut seperti kawanan anak bebek.

"Dit?"

Aku menoleh keasal suara, tempat dimana yang lain sudah duduk di lantai kotor itu. Aku duduk di samping Diva, ikut mendengar obrolan tak penting dari mereka yang sedang berusaha menepis rasa takut.

"Sejak kapan kau dekat sama dia?"

Aku mengernyitkan dahi mendapat pertanyaan aneh itu keluar dari mulut Diva.

"Siapa?"

"Kak Angga."

Kak?! KAK?! ANGGA?! Sejak kapan Diva tau namanya? Dan kenapa harus pakai kak? Terdengar sedikit aneh ditelingaku.

"Aku nda dekat sama dia."

"Siapapun di sini bisa liat Dit. Kalian dekat. Makanya aku tanya sejak kapan?"

Dekat? Aku? Kulkas? Kami tidak dekat. Aku saja sangat malas melihat wajahnya.

"Aku tau situasinya nda pas buat ngomong gini, tapi jangan terlalu cuek Dit. Kau memang nda pernah dekat sama cowo, tapi kau nda bisa menghindar dari mereka. Terutama kak Angga."

Yah situasinya memang tidak cocok untuk pembicaraan ini. Pembicaraan yang tidak aku tahu akan kearah mana perginya.

Tapi,

Cuek? Aku?

"Yang cuek tuh dia, si Kulkas." jawabku, mengedikkan dagu kearahnya.

"Kulkas? Itu panggilanmu ke dia? Nda cocok Dit. Malah yang cocok sama sebutan itu, kau. Kau memang nda bisa diam di pikiran dan sama kami bertiga, tapi sama orang lain, kau bisa ngomong sama mereka tuh kayak keajaiban dunia."

Aku hanya mengerti bagian awal dari perkataannya.

"Apa alasanmu panggil dia Kulkas?"

Diva. Berhentilah bertanya. Pertanyaanmu sangat aneh untuk ukuran orang normal.

"Karena waktu di truk dia nda jawab pertanyaanku."

"Itu doang?"

"Pertanyaan orang lain juga." Aku lebih ngotot lagi mendengar jawaban Diva, seolah hal itu sangat sepele.

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang