33 ¦

16 3 0
                                    

"Aneh."

Kami serempak menoleh, ke arah kasur tempat pria bau itu terbaring. Di sampingnya kak Murni baru saja selesai memeriksa.

"Apa yang aneh?" tanya kak Fajar, yaps sekarang aku tau nama tentara aneh tadi.

"Kalian bilang dia luka kan?"

Kami mengangguk.

"Nda ada luka di badannya, bahkan bekasnya juga nda ada. Cuma ada cakaran-cakaran kayak gini," sambung kak Murni sembari menunjuk tangan, leher dan muka pria itu.

"Aku yakin ini bukan cakaran zombie." Kak Murni melanjutkan dengan cepat sebelum salah satu diantara kami menyimpulkan dengan sembarang.

Kulkas tidak percaya begitu saja. Dia membuka kemeja pria itu, dan benar tidak ada apa-apa. Hanya ruam merah bekas cakaran.

"Diliat dari bentuk cakarannya, kayaknya ini anak kecil, atau remaja karena bentuk cakarannya nda terlalu besar, dan kalau ini cakaran zombie, cakarannya nda akan sehalus ini."

Yah kurasa itu ada benarnya. Kulit yang sudah tercakar zombie akan  berwarna hitam secepatnya dan lubang-lubang kecil akan terlihat beberapa menit setelah cakaran. Juga, tak mungkin pria ini masih selamat jika sudah tercakar.

Mungkin saja pria ini tercakar saat bermain bersama putri nya, atau tercakar saat sedang berusaha menyelamatkan seseorang.

Mungkin.

Kami akan bertanya saat dia sudah bangun.

_W_

Tidak kusangka bisa merasakan gurih dan sedapnya rasa mie instan lagi. Kami sedang berkumpul di depan meja resepsionis. Masing-masing memegang mangkuk berisi untaian mie yang langsung masuk ke dalam mulut. Rasa lapar memuncak, terpantau dari suara seruputan mie yang saut menyaut. Tidak ada lagi yang sanggup bicara, komunikasi kami kali ini hanya melewati tatapan mata. Tatapan mata dengan arti yang sama.

"Mau tambah, masih kurang," keluh Yuni dari belakangku.

Yah kurasa semua yang ada di sini memikirkan hal yang sama.

Selesai makan kami kembali menyiapkan tempat untuk tidur. Setelahnya kembali lagi menyapa kebosanan. Tidak ada yang bisa dilakukan di sini. Peralatan makan sudah dicuci. Pintu masuk juga sudah dijaga. Semua ruangan sudah diperiksa. Tidak ada. Tidak ada yang bisa dilakukan.

Oh!

Satu hal yang bisa dilakukan saat ini. Berpikir. Berpikir tentang kehidupan yang sudah berubah total. Berpikir tentang orang tersayang. Berpikir tentang kematian.

Hm. Kurasa lebih baik aku menghela napas saja. Memikirkan banyak hal hanya membuang-buang waktu. Apa yang akan terjadi jika aku berpikir keras? Wabah ini akan selesai? Kami akan selamat? Haha. Lucu sekali. Sudah kukatakan. Berpikir hanya membuang-buang waktu.

Aku melangkah keluar dari ruangan. Menghampiri Kulkas dan kak Fajar yang sedang terlelap. Setelahnya aku menuju ruang kesehatan, tempat kak Murni sedang memeriksa pasien-pasiennya.

"Gimana kak?"

"Komandan sudah membaik. Tinggal tunggu sadar. Sama kayak bapaknya. Kalau dia, jangan sampai sadar, karena nanti malah ribet."

Aku terkekeh sedikit mendengar penuturan terakhir itu. Begitupun dengan kak Murni yang menahan tawa. Tak ingin menganggunya lebih lama, aku pamit keluar. Singgah sebentar di dapur lalu naik ke lantai dua.

Aku berjalan lurus melewati ruangan bau itu, menuju jendela kesepian yang berada di ujung lorong. Dari sini, aku bisa melihat ke arah jalanan yang berisi banyak sekali kanibal dengan badan tak utuh. Mereka berkeliaran sana-sini, membuatku tak yakin kak Yuda bisa kembali dengan cepat. Jika dia tak kembali sampai besok, kami tidak akan menunggunya. Itu sudah diputuskan di rapat setelah makan tadi. Sekarang kami harus mengisi energi agar tidak tertinggal esok hari, karena semua sudah membuat keputusan. Harus selamatkan diri sendiri.

Walaupun aku menentang, tapi keputusan mayoritas dengan gampangnya menghilangkan perkataanku. Mau tidak mau, aku mengikut. Tapi, tentu saja hanya dikatakan lewat mulut, hatiku tetap tidak bisa menerimanya. Jika ada yang bisa kuselamatkan, jika ada yang bisa kulindungi, aku akan melakukannya. Aku akan menunggunya, aku akan menemaninya. Hm.

Heroik sekali kan?

Aku pun tidak tahu dari mana sikap heroik itu muncul. Padahal, sebelum semua ini terjadi, teman-temanku selalu mengatakan aku sangat cuek. Aku tidak peduli dengan orang lain, tidak peduli apa yang sedang terjadi di lingkunganku.

Benarkah?

Tentu saja tidak. Aku yang lebih mengenal diriku. Aku tidak cuek. Aku peduli dengan segala macam kejadian yang ada di sekitarku. Jika aku tidak peduli, bagaimana mungkin aku masih tinggal di lingkungan itu. Aku memang santai, mungkin itulah yang membuat mereka menganggapku cuek, tapi aku tidak merasa seperti itu. Aku peduli dengan mereka, aku selalu memikirkan mereka. Aku selalu bercengkerama dengan mereka. Aku selalu ingin tau tentang mereka.

Hanya saja.

Aku tidak melakukannya secara langsung. Aku melakukannya di dalam kepala ku.

Itu sangat menyenangkan. Semua yang kuinginkan bisa ku realisasikan dalam kepalaku.

Benar kan? Aku tidak cuek. Aku peduli dengan orang-orang sekitarku.

Dan saat ini, semua yang seharusnya terjadi di kepalaku saja, sedikit demi sedikit keluar dari zona nyamannya.

Dan pemicunya adalah kejadian nahas ini.

Keren sekali.

Lama aku berdiri menatap jalanan, tak terasa hari sudah semakin sore. Langit sudah berwarna jingga, warna yang terlalu cantik untuk keadaan buruk ini.

Aku melangkah ingin kembali ke bawah, saat sudut mataku melihat ada yang bergerak di dalam ruangan bau itu.

Apa itu? Apa yang terjadi? Apakah aku sedang berkhayal? Apakah itu hanya perasaanku saja?

Tidak mungkin. Kami sudah melihat seisi ruangan. Tidak ada tanda-tanda kebaradaan makhluk itu. Hanya seorang pria tua bau yang tak sadarkan diri.

Aku melihat dengan jeli isi ruangan. Menunggu. Menunggu. Menunggu.

F CK!

Apa-apaan! Apa itu? Kenapa dia bergerak? Kenapa dia bergerak?! Selimut itu. Selimut bau itu! Bergerak!

Aku memasuki ruangan. Mengambil botol kosong yang sudah pecah sembari mendekati selimut dengan pelan.

Tunggu.

Bagaimana jika yang ada di dalam selimut ternyata tikus?

Tidak.

Aku terlalu berpositif thinking. Tidak mungkin orang tua itu menyimpan tikus. Terlebih tidak mungkin tikus bisa membuat gerakan besar seperti itu.

Sudah pasti di dalamnya itu zombie.

Aku tidak bisa melakukannya sendiri. Aku harus memanggil Kulkas. Iya benar. Aku harus memanggilnya.

Tuk

Kenapa ada botol di depan kaki ku?! Kenapa?!

Aku harus lari. Lari. Lari.

Srak

"Angga!"

No! No! No. Heh? Heh?! Heh?!?! Apa itu?! Itu? Itu? Jari?!?!

"Adit!"

Aku menoleh ke arah teriakan. Kulkas, Diva dan Yuni berdiri paling depan. Sementara yang lain terus berdatangan dari belakang.

"Kenapa?" tanya Kulkas dengan cepat menghampiriku yang terduduk karena kaget melihat jari kecil yang tiba-tiba muncul dari balik selimut itu.

Aku menggeleng. No. Kenapa aku menggeleng?

Aku berpaling kearah selimut. Dengan keberanian yang sudah kembali aku menyentuh selimut. Apakah aku harus membukanya? Tentu saja. Didalamnya bukan zombie. Dengan tarikan napas dan tatapan bingung dari mereka aku menyibak selimut itu.

Benar saja.

Ada anak kecil.

_W_

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang