32 ¦

31 4 3
                                    

Mungkin. Jika Rima tidak menahanku, suntikan itu pasti sudah menancap dibadannya, dan dia akan berhenti meraung seperti anak kecil.

Sudah kukatakan langsung saja tusuk suntik itu dimanapun dibagian tubuhnya. Sudah dua orang yang menahan pun dia tetap tidak bisa didiamkan. Jika seperti ini, makhluk-makhluk yang ada di luar sana tidak akan diam malah semakin banyak mendobrak pintu.

"Dit, bantu kami nyari makanan sama kebutuhan lain ja. Lantai dua belum ada yang naik," ajak Rima menarik lenganku.

Ck. Baiklah.

Aku mengikuti Rima keluar. Saat menutup pintu, ternyata suara dari dalam bisa diredam dengan baik. Memang masih terdengar teriakan menjengkelkan itu, tapi kurasa tidak akan terdengar sampai luar klinik.

Aku menoleh ke arah pintu yang sudah sepenuhnya tertutup berbagai barang. Beberapa orang berjaga di sana, termasuk Kulkas.

"Yang lain mana?"

"Lagi di dapur," jawabnya sembari menunjuk dan berjalan menuju ruangan di bawah tangga.

Saat memasuki dapur, aroma yang sangat familiar merasuki indra penciumanku. Aroma kehidupan yang sangat khas hingga bisa melelehkan hati yang keras. Siapapun yang sangat terobsesi dengan aroma ini dahulu, pasti akan sangat senang bisa mencium harumnya lagi. Aroma gurih yang dihiasi dengan gempulan asap diatasnya.

Mie instan.

Cepat aku mendekat ke meja segi empat tempat banyaknya mangkuk berjejer. Menelan ludah saat melihat lembutnya untaian mie yang sedang berendam di air panas. Kuahnya yang kuning dengan butiran-butiran minyak yang berkumpul, juga telur setengah matang yang sudah terbagi dua. Huft. Aku tidak sanggup lagi menahannya.

Kepalaku beralih ke bawah meja di mana terdapat satu galon dengan airnya yang tak kalah menggoda. Kepalaku menoleh kesana-sini mencari keberadaan gelas.

"Nih." Diva berdiri disampingku dengan tangan terulur memegang gelas.

Aku mengisi gelas penuh lalu meneguk habis hingga tetes terakhir. Air dengan temperatur suhu ruang itu menjalar masuk membasahi setiap ruang tenggorokan ku yang kering, menghasilkan kesejukan yang sangat-sangat tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Aku melirik Diva yang sedang menghiasi mie dengan telur-telur yang sudah terbagi dua.

"Tunggu semua masak baru boleh dimakan Dit," ungkapnya seperti tau aku sedang melihatnya.

"Sambil nunggu mending kau ke lantai dua. Belum ada yang naik. Mungkin di atas ada tambahan selimut atau bantal."

Selimut? Bantal?

"Kita bermalam di sini?"

Diva mengangguk sebelum akhirnya kembali bersama "tim memasak".

Yah kurasa juga lebih baik bermalam. Sekarang tidak hanya satu pasien yang harus ditangani, tapi dua. Dan dua pasien itu memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang. Yang satu sangat tenang, sementara yang satu lagi sangat dramatis.

Akan lebih baik jika menunggu mereka sedikit pulih.

_W_

Sepertinya di lantai dua ini hanya ada gudang dan ruang peralatan. Saat menaiki tangga, lantai ini bahkan tidak ada lampu yang menyala.

Aku mencari keberadaan sakelar, walaupun cahaya matahari dari luar sudah cukup, tapi apa salahnya mendapat tambahan cahaya. Lagipula di atas sini tidak seterang lantai bawah, hanya ada dua jendela kecil tempat masuknya cahaya matahari. Yang satu tepat di depan tangga dan sudah pecah, sepertinya di pecahkan dengan tangan karena aku melihat bercak-bercak darah yang menempel, sementara yang lain berada di ujung lorong, masih utuh.

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang