27 ¦

36 6 1
                                    

"Kita harus keluar."

Kita? Keluar? Pergi saja sendiri. Aku tidak ingin keluar dari sini denganmu.

"Kamu nda mau keluar?" tanyanya, berhenti melangkah karena aku tidak mengikutinya menuju pintu.

Aku diam, tidak menjawab atau sekedar melihatnya. Merasa aku yang tidak bergeming dia mendekat, berdiri tepat didepanku yang masih duduk bersila di atas meja.

Sedari tadi kami hanya berdiam diri. Cukup lama kami berdiam, sementara di luar sana suara makhluk keji itu terdengar dari setiap arah. Sampai akhirnya dia mengutarakan idenya ingin keluar dari sini.

"Kita gak punya banyak waktu. Kalau kita diam disini mereka bakalan tambah banyak." katanya masih setia melihat ku yang berpaling.

"Dan kamu juga pasti sudah di tunggu sama mereka, teman-temanmu."

Eh? Mereka masih selamat?

"Mereka selamat." jawabnya setelah melihat tatapan bertanya ku. Sudah tahu apa yang akan kutanyakan.

Tunggu.

Darimana dia tahu?

"Mereka sempat sembunyi. Aku melihatnya."

Aku harus keluar. Aku harus kembali bersama mereka. Tapi, bagaimana caranya? Oh,

Aku meneguk ludah lalu turun dan berpijak pada lantai. Berjalan kearah pintu dan berdiam. Aku akan keluar, bersamanya.

"Kita lari. Kakimu masih sakit?" tanyanya sudah berdiri disampingku dan melihat kebawah.

Aku memang ingin keluar, tapi bukan berarti aku akan berbicara dengannya. Aku menghentakkan kakiku bergantian, menjawab pertanyaan.

"Aku keluar duluan, mengalihkan perhatian mereka. Keluar dua menit setelah ku, belok kanan dan temukan ruangan direktur, masuk kedalam ruangan lainnya dan kamu akan menemukan tangga. Aku bakalan menyusul secepatnya." ujarnya menyerahkan senter cadangannya kepadaku.

Tidak.

Aku tidak ingin melakukan rencana itu. Dia ingin keluar dan mengalihkan, sementara aku hanya menunggu? No, no. Tidak lagi, tidak akan ada lagi nyawa yang melayang hanya agar aku selamat.

"Plan B."

"Hah?"

"Pakai plan B. Aku nda suka rencana tadi."

"Ini bukan masalah suka atau gak suka sama plannya. Yang terpenting sekarang kita harus keluar dari sini dan bergabung sama mereka."

"Plan B."

Bisa kudengar dia menghela napas setelah membalik badan memunggungi ku. Dengan gusar menyurai rambutnya.

Aku tidak akan membiarkannya keluar dari sini dengan rencana itu. Tidak ingin lagi melihat seseorang mengorbankan nyawanya. Aku sudah tidak sanggup dengan itu. Aku mengkhawatirkan diriku sendiri, bukan dia.

Kurasa aku akan gila, jika dia tetap berjalan dengan rencana itu dan berakhir seperti yang lainnya. Ugh! Aku tidak ingin membayangkannya.

"Apa plan B nya?" tanyanya berbalik menghadapku.

Tidak tahu. Aku hanya asal saat mengatakannya. Aku menoleh ke arahnya, senter yang dikalungkannya lalu dimasukkan kedalam baju agar cahaya tidak merambat dengan bebas, memperlihatkan dirinya yang hanya memakai baju dan celana, tanpa senapan atau pistol atau barang lainnya yang bisa dipakai sebagai senjata. Dan dia ingin keluar kearah makhluk itu tanpa senjata satu pun? Sudah gila.

"Tidak ada plan B, kan?"

Hm.

"Kau mau keluar? Mana senjatamu? Kau mau keluar tanpa senjata satu pun? Kau yakin bisa selamat dengan rencana tadi? Kau yakin bisa menyusul dan kita kembali bergabung dengan yang lain?"

Ok kurasa aku bertanya terlalu banyak.

"Harus ada yang berkorban. Aku tentara, dan kamu bukan. Sudah seharusnya aku melindungimu."

Kau bukan tentara brengsek. Kau sudah bukan tentara. Jika kau keluar dan akhirnya tidak selamat. Kau akan mengerti kalau tentara juga hanya segumpal daging yang memiliki jiwa.

"Lalu siapa yang melindungimu?"

Dia terdiam. Perdebatan ini sama sekali tidak membuahkan hasil apapun, selain perasaan benci yang semakin mengembang.

"Kau mungkin tidak mengerti. Tapi aku tidak ingin lagi melihat seseorang mengorbankan nyawanya demi aku."

Pernyataan itu membuatnya kontan melihatku.

"Aku tidak mengorbankan nyawa untukmu. Kamu gak dengar? Aku bilang akan menyusul."

Aku melihat tepat di dua manik coklatnya itu. Dia berhasil mematahkan ketakutanku. Baiklah, kita ikuti rencananya. Jika dia tidak menyusul, aku tidak peduli.

Aku mengambil senter dari tangannya lalu membuka pintu dan mempersilahkannya keluar terlebih dahulu. Setelahnya aku keluar, di luar sini tidak terlalu gelap, karena dinding kaca yang mengelilingi membuat cahaya bulan dari luar sana masuk dan menerangi gedung ini. Dan, tidak ada zombie disini.

"Lorong kanan." katanya menunjuk belokan yang tak jauh dari ruangan ini.

"Hati-hati." katanya lagi sebelum berlari kearah sebaliknya dan sudah tidak terlihat dimakan kegelapan.

Aku selalu berkhayal jika suatu saat dunia akan penuh dengan para zombie lalu aku akan berjalan di tengah sepinya jalanan. Berjalan perlahan dan menengok kesana-sini untuk melihat kiranya dimana keberadaan makhluk itu. Dan sekarang, aku benar-benar mengalaminya. Aku berjalan pelan melewati satu ruangan tertutup lainnya. Senter kugenggam dengan erat, hanya ini yang kupunya, jika benda ini menghilang, tidak tahu lagi akan jadi apa aku nantinya.

Aku bersandar di balik tembok belokan ini, berusaha menenangkan degup jantung yang mengencang hingga napas ku ikut menjadi tidak stabil karenanya. Senter kudekap di dada. Bisa kurasakan detakan kencang dari dalam. Aku harus lanjut.  Aku harus. Kakiku lemas dan aku berjongkok untuk memukul-mukulnya agar tidak bertingkah disaat seperti ini.

Set

Aku melihat kebalik tembok, tapi karena gerakan yang cepat aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada dibaliknya. Sekali lagi.

Oh Lord.

Terima kasih.

Aku kembali melihat untuk memastikan. Oh!!! Syukurlah!!!!

Tuhan. Kumohon, kali ini jangan pertemukan aku dengan malaikat maut.

Lorong panjang itu terlihat lenggang. Tidak ada satu makhluk pun disana.

Tap.... Srak

"AAAhmmm-"

Satu zombie berada tiga langkah di belakangku, untungnya aku masih waras untuk menutup mulut meredam teriakan. Aku berdiri dengan cepat, berlari sembari menyalakan senter dan mencari ruangan dengan nama direktur diluarnya. Sementara dibelakang, zombie tadi berlari mengejar. Dia bisa lari!!

Direktur! DIREKTUR! DIREKTUR!!!

Aku menyenter kesana sini, berusaha membaca setiap nama ruangan ditengah larian panik. OH! Larianku tambah percepat saat melihat satu papan dengan nama "Ruang Direktur". Tanganku dengan cepat menggapai kenop, buka, masuk, tutup!

Bruk... Bruk...

"Huhh..... Huhhh... Huhhh...."

Aku terduduk setelah mengunci ruangan ini. Gebrakan di luar sana tidak lagi kuhiraukan. Aku menyenter keseluruh ruangan, menghindari kejadian yang sama akan kuhadapi lagi disini.

Tidak ada.

Tidak ada siapa-siapa disini. Aku sendirian, dan di depanku, ada sebuah pintu. Tidak membuang waktu aku berdiri dan menggapai pintu. Benar saja. Didalam sini ada tangga. Aku menyenter ke atas, tempat dimana tangga ini menuju. Tidak ada yang bisa dilihat, hanya tangga melingkar yang sepertinya cukup panjang. Aku kembali menutup pintu, duduk disalah satu anak tangga. Menunggunya dalam keheningan menenangkan diri.

Cepatlah datang brengsek.

_W_

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang