35 ¦

15 3 0
                                    

Karena permasalah orang tua tak bermoral itu, kami menjadi lupa dengan keadaan di luar. Semua atensi sepenuhnya mengarah ke pria bau yang sedang mengerang kesakitan itu. Dia dibawa ke ruangan lain. Ruangan tidak ditutup dan kami melihat langsung bagaimana telatennya kak Mirna membersihkan luka itu, tentu saja dengan tangisan dan amarah yang terus dia tekan agar pria bau itu bisa tetap hidup.

Aku tidak bisa. Tidak bisa melihatnya seperti itu. Sakit yang dia rasa, sama sekali tidak berguna. Sakit yang dia rasa, tidak sama dengan sakit si anak. Sakit yang dia rasa, seharusnya seribu, tidak, seratus ribu, satu juta, seratus juta, tidak ada yang bisa menjelaskan, tapi sakit yang dia rasa harusnya sangat menyakitkan.

Tanganku terus saja ditahan oleh Kulkas. Berkali-kali aku ingin masuk ke ruangan, berkali-kali juga Kulkas mengeratkan genggamannya dan tidak membiarkan ku bergerak barang sesenti.

Kami masih berdiri melihat penyiksaannya. Sedikit demi sedikit orang-orang sudah pergi, tidak sanggup melihat pak tua itu mengerang kesakitan.

Kenapa?

Kenapa mereka tidak bisa melihatnya? Kenapa? Kenapa mereka merasa kasihan? Mereka tidak seharusnya kasihan. Orang itu. Iblis itu. Tidak seharusnya dikasihani.

Seharusnya mereka sanggup melihat siksaannya. Jika mereka memikirkan anak itu.

"Mau ketemu sama anak kecilnya?"

Tidak.

Penyiksaan si raja iblis masih belum selesai. Kita tidak boleh melewatkan sedetikpun. Kak Mirna memang sudah selesai, tapi dia masih mengerang. Seharusnya dia sudah tidak sadarkan diri. Kenapa dia masih bertahan?

"Aditya?"

Diamlah. Jangan mengganggu kesenanganku.

"Kamu belum ketemu sama adeknya. Waktunya sudah nda banyak. Kita harus kesana."

Tidak. Jangan menarikku. Aku tidak mau. Aku tidak mau. Aku harus melihat ini. Aku harus merasa senang dengan ini. Aku akan melihat ini. Aku akan melihat ini, aku yang akan menggantikan anak itu melihat penyiksaan ini. Aku harus! Aku harus!

"Jangan."

Hah?

"Jangan dipaksa."

Aku tidak memaksa.

"Mirna sudah selesai. Sekarang dia lagi merasakan sakitnya. Sudah cukup. Sekarang kita harus ke tempat si adek."

Sudah selesai. Ya. Sudah selesai.

Sekarang.

Cepatlah bangun iblis. Banyak yang ingin kutanya.

_W_

Sangat cantik.

Manis.

Lucu.

Aku ingin dia bertahan.

Aku ingin bermain dengannya.

Aku ingin melihat senyumnya.

Si cantik ini. Kira-kira sedang mimpi apa ya? Dia terlihat senang di dalam mimpinya.

"Dek," tegur kak Murni yang baru saja datang.

"Maaf. Kakak nda bisa apa-apa. Kakak nda bisa selamatin dia. Maaf."

Bukan.

Yang harus minta maaf bukan kak Murn.

Aku. Aku yang harus minta maaf. Seharusnya saat melihat selimut itu aku langsung membukanya. Mungkin saja, jika aku cepat dia bisa selamat. Mungkin saja, jika aku cepat aku bisa menyelamatkannya. Mungkin saja, jika aku cepat aku bisa melihat senyumnya.

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang