14 ¦ Persiapan

38 12 0
                                    

Aku makan dengan nikmat, walaupun hanya nasi, secuil mie rebus dan telur yang dibagi dua. Aku tidak bisa mengeluh, begitupun penghuni kos lain. Masih untung kami masih bisa makan walaupun dengan porsi yang tidak banyak. Terbatasnya air, baik itu air mentah ataupun air minum membuat kami tidak bisa memasak makanan dengan baik. Bahkan beras tidak kami cuci terlebih dahulu.

Aku menyadari. Karena kami tidak bisa makan seperti biasanya, pilihan terakhir untuk mengenyangkan perut adalah meminum air. Membuat air minum kami menipis dengan cepat.

Aku kembali ke kamarku. Mulai menyiapkan barang-barang yang harus aku bawa esok.

Aku sudah menghubungi kontak yang ada di thread twit itu. Belum ada balasan, mungkin karena banyaknya yang menghubungi hingga chat ku terkubur dan saat aku menelpon juga nomor itu sedang sibuk.

Dalam hati aku selalu berdoa. Semoga kami semua bisa keluar dari sini. Semua. Bahkan yang tidak aku sukai juga tetap harus melanjutkan hidupnya agar dia bisa pergi jauh dari ku. Bukan pergi untuk selamanya tapi pergi menjauh dari ku. Dua hal itu memiliki arti yang berbeda.

Aku telah berkemas. Dua hoodie, satu jaket, senter, pisau, makanan ringan dan air mineral ku masukkan ke dalam tas. Oh jangan bilang aku masih memiliki air mineral. Aku hanya punya satu. Ssst. Terkadang kita juga harus seperti ini dalam hidup, iya kan?

Aku tau kalian akan setuju.

Aku duduk di pinggir kasur. Memencet satu nomor yang terus menghubungiku sejak semalam.

"Halo."

"Darimana? Kenapa nda diangkat? Nda papa kah disana?"

"Nda papa. Hp Ay ada di kamar, Ay di kamarnya Diva."

"Aman aja kan? Yuni sama Diva gimana?"

"Iya aman ja. Mereka di kamar Diva."

"Kemarin disini sudah ada dua orang yang masuk. Sekarang nda ada yang berani keluar dari rumah."

Deg.

Aku mematikan telpon itu dengan cepat. Ku genggam dengan erat hp ku, menahan perasaan ganjil yang tiba-tiba muncul di hatiku.

Hp ku kembali berdering. Aku tidak bisa mengangkatnya. Kenapa? Aku tidak tahu kenapa.

Aku kembali ke kamar Diva. Dia juga sedang berkemas ditemani Yuni.

"Kau sudah hubungi bapak mu?" tanya ku ke Diva dengan suara setenang mungkin.

Aku tidak ingin dia panik.

"Belum. Bapakku nda bisa dihubungi dari kemarin."

"Terakhir bapak mu dimana?"

"Maksudnya?"

"Di rumah atau dimana?"

"Di kantor. Kenapa?"

"Nda papa. Tanya ja."

Tidak mungkin kan? Semoga tidak.

Aku harus mengatakan yang sebenarnya ke mereka berdua. Apa yang harus aku katakan? Bagaimana perasaan mereka berdua nanti? Diva yang tidak bisa menghubungi orang tuanya dan Yuni juga tidak bisa menghubungi karena tidak ada hp.

Hah!
Aku kembali ke kamar. Mencari nomor orang tua Yuni dengan cepat.

Masih berdering.

Aku mengetuk tembok di sampingku dengan cepat.

Masih berdering.

Tidak diangkat!

Kutelpon lagi.

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang