7 ¦ Kepercayaan

42 11 0
                                    

Dari kemarin sore hingga siang hari ini, sekitar tiga puluh panggilan keluar telah kulakukan untuk menelpon Yuni. Sudah seharian dia tidak ada kabar. Membuat orang tuanya khawatir tak karuan, dasar anak durhaka.

Setiap satu jam sekali aku pasti mendapat telpon dari orang tuanya. Membuat ku tidak bisa fokus memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang.

Aku harus menemukannya agar bisa tenang menghadapi keadaan mencekam ini.

Bahkan orang tua ku saja tidak sesering itu menghubungi ku. Apakah aku block saja nomor kedua orang tua Yuni ini?

Aku berada di kamar, sedang mendengarkan lagu. Beruntungnya jaringan masih stabil, listrik dan air juga masih menyala.

"Ayda! Ayda! Ayda!"

"AYDA!"

Tiba-tiba suara teriakan itu memanggil namaku. Terlebih dia memanggil ku dengan nama yang hanya orang terdekat saja yang memanggil ku seperti itu. Siapa itu? Apakah aku sedang bermimpi?

"Dit."

Diva membuka kamar ku dan melihat ku dengan tatapan aneh.

God. Aku tidak bermimpi. Dia pasti Yuni.

Aku bergegas keluar kamar lalu turun dan melihat sosok berlumuran darah sedang menempel di pagar putih itu.

"Yun. Kau ngapain babi!" tanyaku ke Yuni yang terus menggedor pagar menyuruh ku membukanya. Aku menahan diri untuk tidak membuka pagar karena melihat keadaannya yang berwarna merah itu.

"Buka! Buka!"

Yuni terus berteriak sembari melihat kearah kanan. Aku penasaran. Shit. Terlihat satu orang yang sudah terinfeksi berada di depan gang.

"Kau kenapa bawa kesini?!"

"Buka!"

"Nda. Kau sudah digigit."

"Buka! Aku belum kena. Aku belum kena. Ini bukan darah ku. Ay buka!"

Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membuka pagar ini?

"Ini darah temanku!"

Aku melihat maniknya. Tersirat kebenaran dan harapan disana.

"Kau bohong bakalan aku lempar kembali ke mereka."

Aku membuka pagar dengan tangan yang bergetar hebat. Yuni masuk dan aku kembali mengunci pagar itu. Pergerakan orang yang terinfeksi itu tidak terlalu cepat, dia memang berlari tapi karena matanya yang terluka membuatnya tidak bisa melihat jalanan dengan baik. Dia mengandalkan pendengarannya mencari keberadaan orang yang berteriak.

"Jangan masuk." ucapku ke Yuni yang hendak mendekati pintu.

"Kenapa kau penuh darah?" tanya ku hati-hati.

"Ini darah teman ku. Tadi tangannya digigit."

Dia terisak, mundur beberapa langkah lalu tersungkur di halaman kos. Dibelakangnya orang terinfeksi tadi berusaha menerobos pagar. Yuni menangis sembari memukul dadanya.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku percaya padanya, tapi bagaimana penghuni kos lain? Dan juga warga.

Aku melihat mereka yang mengintip dari dalam rumah karena mendengar teriakan Yuni.

Aku melirik Diva yang sepertinya sedang menahan mual karena melihat makhluk menjijikan yang terus mendorong pagar. Yah siapa pun akan mual melihatnya, matanya telah koyak karena sayatan, dan yang parah adalah tangan kirinya yang hanya tersisa setengah, memperlihatkan bentuk tulang dan daging yang menghitam itu.

Aku tidak bisa berdiskusi dengannya.

"Aku nda bisa terima kau disini."

Yuni terkejut begitupun dengan Diva.

"Silahkan kau cari tempat lain." sambungku cepat melihat Yuni yang sudah berdiri.

"Aku nda digigit Ay! Aku nda ada sama sekali nyentuh orang yang kayak gitu! Aku bersih! Ini baju temanku yang dia pakai waktu ...." Yuni berteriak menunjuk dirinya dan menggantung perkataannya.

Aku diam. Tidak ingin menanyakan kelanjutan dari perkataannya yang belum selesai.

"Waktu?" tanya Diva berdiri tepat di samping ku.

Kenapa dia harus penasaran?

"Waktu ... tangannya ...."

Digigit.

"Dipotong."

Hah? Dipotong?

Apakah semuanya sudah sejauh ini?

Yuni terlihat trauma, badannya gemetaran. Mungkin karena temannya itu memotong tangannya sendiri dan tepat didepannya.

"Mana temanmu?"

Yuni melihatku sebentar lalu kembali menunduk.

"Meninggal. Dia kehabisan darah."

Benar-benar sudah terjadi sampai seperti ini.

"Terus kau ngapain pakai bajunya?"

"Ini kenangan dari dia."

Bodoh. Sangat bodoh.

Apa yang ada dipikiran mereka sampai menyempatkan diri memberikan kenangan sebelum mati tanpa darah.

"Buka semua bajumu. Aku mau liat."

Yuni kembali melihat ku yang tidak merubah pandangan sedikit pun dari matanya. Ia mengangguk, berjalan ke belakang tembok dan mulai membuka baju darah itu.

Maaf Yun. Aku harap kau bisa mengerti. Jika kau ingin diterima disini kau harus bersih.

"Dit." tegur Diva. Bisa kurasakan dia sedang melihat ku.

Aku tidak peduli. Mataku masih memandang kearah Yuni yang melepas bajunya. Hingga akhirnya menyisakan dalamannya saja.

Bersih.

"Kau diam di kamarku sampai besok malam. Makanan nanti aku kasih. Pakaian ada di lemari ku. Baju yang itu tinggal aja." kataku, memberikan selimut tipis yang ada di leher ku.

Keputusan final telah ku suarakan. Aku masuk kembali ke dalam kos bersama Diva dan Yuni berada di belakang ku. Beberapa penghuni terlihat keluar dari kamar. Mereka memberikan berbagai kata protes membuat telinga ku terasa mati rasa. 

"Kalau emang dia terjangkit. Aku yang bakalan lempar dia sendiri keluar. Puas." ucapku ke mereka yang terus memojokkan ku.

Aku kembali ke kamar untuk mengambil baju lalu memberikannya ke Yuni yang sedang mandi di kamar mandi yang jarang dipakai di lantai satu. Kuberitahu keseluruh penghuni bahwa jangan memakai kamar mandi itu dulu sampai besok malam.

Setelah selesai, Yuni aku kurung di dalam kamar. Makanan dan sedikit cemilan kuberikan padanya sebagai bekal untuknya karena ku kunci sampai esok malam.

Aku kembali ke kamar Diva, menelpon orang tua Yuni. Mereka menangis mendengar kabar anaknya. Aku juga memberitahu perlakuan ku pada Yuni, mereka bisa menerimanya walaupun terdengar tak ikhlas. Mereka berterima kasih karena aku masih peduli kepada Yuni.

Yah aku juga merasa tadi sedikit berlebihan. Di saat seperti ini kita harusnya saling percaya satu sama lain.

Hm.

_W_

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang