30 ¦

27 4 0
                                    

Sinar matahari menembus masuk ke ruangan direktur, melalui jendela-jendela kecil di atas pintu. Aku sedang duduk di lantai, sesekali memejamkan mata beberapa menit. Sampai satu sosok muncul dari dalam ruang tangga lalu tanpa basa basi duduk di sofa bau itu.

"Gimana caranya kita turun?" tanyaku mendahuluinya yang hendak berbicara.

"Kita harus pelan-pelan. Dari yang aku lihat, zombie yang ada disini lebih ganas daripada Malang. Mereka lari lebih cepat."

Itu sangat tidak mungkin. Semua zombie sama saja, tidak ada bedanya.

"Kapan?"

Dia berdiri.

"Sekarang."

"Sekarang?"

"Makanan sudah nda ada. Kita harus cepat keluar dari sini dan cari makanan," jawabnya, berlalu menaiki tangga. Memanggil orang-orang di atas untuk turun.

Tidak butuh waktu lama aku menunggu, kini kami telah berkumpul, mempersiapkan diri untuk melangkah ke dunia luar. Tanpa aba-aba Kulkas keluar kemudian menutup pintu kembali.

"Kok dia keluar duluan Dit?" tanya Rima sembari melihatku. Aku tidak menoleh, pandangan mataku masih tetap ke arah pintu yang tertutup itu.

"Dia lagi ngecek keadaan. Kita tunggu sebentar," kata seorang tentara yang hendak membuka pintu, namun pintu terlebih dahulu dibuka dari luar.

Kulkas melenggang masuk, ditangannya terdapat besi panjang yang sebelumnya tidak ada. Dia berbicara dengan dua tentara lain lalu mengangguk dan berbalik menghadapi kami.

"Kita bagi jadi tiga kelompok. Tiga ikut saya, empat ikut Jonathan, sisanya ikut Iky. Di luar sana mereka nda terlalu banyak, jadi kita keluar berkelompok. Kita cari ruangan lain, diam di sana terus nanti kelompok lain bakalan saya jemput lagi. Kita keluar pelan-pelan dengan berhenti di setiap ruangan kosong.

Selama di luar usahakan jangan panik dan tetap tenang."

Semua mengangguk, paham dengan maksud Kulkas dan menarik napas berusaha tetap tenang seperti yang Kulkas inginkan.

"Dit aku sama kau ya?" bisik Rima, menggandeng tanganku.

Aku mengangguk, menarik Diva dan Yuni mendekat agar mereka tidak berpisah denganku.

"Ayo. Kita duluan."

Hah?!

Bukan hanya aku saja yang terkejut saat Kulkas mendatangi kami dan mengucapkan kata itu. Bisa kulihat dari ekor mataku, Rima dan Yuni pun tersontak kebelakang mendengar penuturan itu.

"Mas, biar kami yang tua saja yang keluar pertama. Anak muda belakangan aja." saut seorang bapak tersenyum kepada kami setelah mengatakan keinginannya.

"Pak maaf, tapi yang keluar pertama ini akan sedikit lama karena harus mencari tempat yang aman. Lebih baik bapak keluar setelah kami ketemu ruangan lain."

"Dia mau jadikan kita tumbal Dit?"

"Kalian ikut kelompok lain ja," balasku tidak menjawab pertanyaannya.

"Kenapa bukan kalian bertiga aja yang duluan pergi? Kan kalian tentaranya, kalian yang tugasnya jagain kita." Suara tak diinginkan berseru, seorang perempuan yang lebih tua dariku maju berhadapan dengan Kulkas. Dia orang yang sama yang berpapasan denganku di tangga.

"Kita ga ada yang mau pergi duluan, terlalu berbahaya. Kita bakalan tunggu di sini sampai kalian bertiga bisa temuin ruangan lain atau mungkin bisa usir mereka keluar dari gedung ini. Jadi, kita bisa bebas."

Bisa kulihat dua tentara di belakang Kulkas melihat perempuan itu dengan geram. Hal yang sama pun terjadi pada beberapa orang.

"Kamu mau keluar terakhir?" tanyaku setelah menghentikan Kulkas yang ingin berbicara.

neWorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang