Bian melangkahkan kakinya dengan lesu saat masuk ke dalam rumahnya. Cowok itu kemudian melepaskan kacamatanya agar memperjelas penglihatannya untuk mencari keberadaan teman-temannya.
Beberapa detik setelahnya, tatapan cowok itu terpaku pada sekumpulan cowok yang berada tidak jauh dari jangkauannya. tanpa membuang waktu lagi, segera saja ia menghampiri teman-temannya.
"Bi, kita.."
"Gue harus bunuh Raiden." ucapan yang keluar dari mulut Bian mampu membuat keenam sahabatnya saling melempar tatap.Keenan, salah satu sahabat Bian menghembuskan napasnya.
"Bi, Raiden lagi koma." ucapan Keenan mampu membuat Bian tersenyum sinis
"Bagus kalo gitu."
"Kita jadi punya waktu buat nunggu dia sadar." ucapnya dengan suara yang bergetar karena marah"Bian.." panggil Revalza
"Lo semua balik aja, gue mau istirahat." seperti tahu kemana arah ucapan Revalza, Bian langsung memotong omongannya agar tidak berlanjut.Bian tersenyum sambil menatap sahabatnya satu persatu. "Gue cuman butuh istirahat. lo juga pasti pada capek kan, apalagi besok sekolah."
Keenan menganggukkan kepalanya mengerti. "hubungin kita kalo ada sesuatu, Bi." cowok itu menepuk pundak sahabatnya bermaksud untuk memberikan ketenangan
Bian tersenyum dan mengangguk. "Thank u, Nan." setelah itu, tanpa basa-basi lagi Bian langsung pergi menuju lantai atas untuk beristirahat. jujur ia sangat lelah dengan apa yang terjadi di hidupnya kali ini.
Sambil memperhatikan langkah sahabatnya itu, keenam cowok itu berpikiran yang sama. Bian akan benar-benar gigih pada kemauannya. dan mereka bisa memastikan nyawa Raiden akan terancam saat cowok itu telah sadar dari koma.
Dan mereka semakin sadar. sadar bahwa Xabian yang mereka kenal sudah benar-benar pergi. pergi bersamaan dengan adiknya, Xavienna.
—-
Vicky melemparkan map coklat itu ke sembarang arah. "itu hasil otopsi adik kalian." ia berucap sambil menatap kedua putranya.
"Dia meninggal karena dicekik." Bian mengepalkan kedua tangannya ketika mendengar ucapan ayahnya.
"Putri kesayangan saya dibunuh!" teriaknya frustrasi
"Adik kalian dibunuh!" Mata vicky mulai berlinang air mata sambil menatap kedua putranya.Hampa. Itu yang dirasakan Vicky saat ia sedang meeting penting dan sekretarisnya mengabarkan bahwa anak yang sangat ia cintai meninggal dunia. Saat itu ia sedang berada di Canada untuk mengurus pembangunan hotel disana. Vienna adalah anak impiannya, anak kesayangannya, anak yang selalu ia banggakan pada dunia, anak yang membuatnya merasa sangat beruntung menjadi ayah.
Vicky menghampiri Bian yang masih setia menundukkan kepalanya. Cowok itu tidak berani untuk menatap ayahnya.
"Bian gagal jagain Vienna, yah." Ucapnya dengan suara yang gemetar karena menahan tangisannya.
"Abang.."
"Bian tau siapa yang bunuh Vienna." Cowok itu mendongakkan kepalanya menatap sang ayah"Yah, Biarin Bian yang urus semuanya. Biar Bian enggak ngerasa gagal karena Bian enggak bisa jagain Vienna." Cowok itu menatap ayahnya penuh permohonan
"Xabian."
"Bian tahu siapa yang bunuh Vienna, yah." Xavi yang mendengar ucapan abangnya langsung menoleh. Tidak percaya bahwa Bian memang benar-benar senekat ini."Kamu yakin?" Tanya Vicky karena sedikit ragu dengan ucapan Bian
Bian menganggukkan kepalanya. "Tapi Bian pasti bakalan butuh bantuan ayah."
Vicky menganggukkan kepalanya menjawab ucapan Bian. "Ayah bakalan selalu melindungi kalian." Bian tersenyum ketika mendengar ucapan sang ayah.
"Nyawa harus dibalas nyawa. Bian akan benar-benar bikin dia menderita pake tangan Bian sendiri." Ucapan Bian kali ini benar-benar serius. Matanya tidak bisa berbohong kalau ia dipenuhi oleh dendam dan kebencian.
Vicky tersenyum tipis melihat reaksi anaknya. Xabian Elzavero benar-benar copy paste dari dirinya. Melihat anak cowok pertamanya sekarang seperti ia berkaca dengan masa lalunya. Ia telah berhasil mendidik kedua anak cowoknya.
Setelah selesai dengan ayahnya, Vier ikut Bian masuk ke kamar cowok itu. Ia merasa harus mengobrol berdua dengan abangnya.
"Kita bisa bunuh dia sekarang, Bi. Lo enggak perlu kotorin tangan lo." Ucap Vier sambil berjalan menghampiri Bian yang sudah berada di balkon kamarnya.
Cowok itu tersenyum miring mendengar ucapan adiknya. "Enggak ada sensasinya." Bantah Bian
"Gue tau bokap bakalan selalu ngelindungin lo. Tapi kalo lo beneran mau siksa dan berakhir bunuh dia, gue rasa itu berlebihan." Ucap Vier. Niatnya baik, ia hanya tidak mau abangnya dicap sebagai pembunuh.
Bian menatap Vier dengan tajam. "Lo diam doang kembaran lo dibunuh, Vi?" Tanya Bian
"Kita bisa bunuh dia sekarang, Bi."
"Ayo kita kerumah sakit. Cabut alat medisnya, karena itu yang buat dia bertahan sekarang. Sama aja bunuh juga." Ajak Vier yang direspon tawa sinis oleh BianCowok itu malah mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya disela bibirnya. "Gue enggak suka lo kebanyakan ngomong."
Bian menyalakan korek api dan mendekatkan pada batang rokoknya. Kemudian cowok itu menghembuskan asap yang keluar dari mulutnya. "Tugas lo tuh cuman bantuin gue, Xavier Elzano."
"Kalo gue enggak mau gimana?" Tanya Vier sambil merebut korek api itu dari tangan Bian. Kemudian cowok itu hanya memainkan api dengan jarinya karena tidak ada kerjaan.
Bian kembali menghembuskan asap rokok itu dari mulutnya. "Tanpa bantuan lo, gue juga bisa urusin semuanya sendiri."
Vier menyenderkan punggungnya pada pembatas balkon. "Anak Alaska enggak bakalan bergerak tanpa instruksi gue, xabian Elzavero yang terhormat." Cowok itu melemparkan kembali korek api itu pada Bian.
Bian tertawa meremehkan saat mendengar ucapan Vier. "Percaya diri gila lo." Ucapnya
"Udahlah, Vi. Gue enggak suka lo banyak omong." Ucap Bian sinis
"Tugas lo cuman Handel anak Alaska buat bantuin rencana gue." Bian melempar batang rokoknya dan menepuk pundak Vier. Kemudian cowok itu masuk kembali ke kamarnya meninggalkan dirinya yang masih setia berdiri.
Vier menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan kelakuan Bian. Memang tidak ada yang bisa menolak keinginan Bian. Ucapannya tadi hanya meledek dan sepertinya Bian tau bahwa ucapannya tidak serius, makanya respon yang ia berikan seperti itu.
Ia benar-benar yakin bahwa anak Altair juga pasti akan tunduk pada Bian dan mengikuti apa kemauannya. Dan keyakinannya bertambah bahwa rencana yang sudah Bian atur sudah pasti akan terjadi. Bisa dipastikan, Raiden akan benar-benar mati ditangan abangnya. Xabian.

KAMU SEDANG MEMBACA
XA's Brother
Teen FictionXabian Elzavero, cowok yang biasa disapa Bian ini adalah ketua dari perkumpulan orang yang paling disegani disekolahnya. apalagi kalau bukan Altair crew. anak pertama yang mempunyai dendam kepada orang yang telah membunuh adik kesayangannya. dengan...