part 17

159 9 0
                                    

"Nih minum dulu." Sasya mengulurkan segelas kopi kepada Bian.

Bian mendongakkan kepalanya dan menerima kopi itu dari tangan Sasya.

"Makasih ya udah mau direpotin." Ucap Sasya sambil duduk di sebelah Bian.

Jam setengah enam pagi tadi, Bian terbangun karena telefon dari Sasya. Cewek itu berkata bahwa kondisi adiknya makin parah. Bahkan Rania sampai tidak sadarkan diri karena suhu badan cewek itu sampai 39 derajat.

Reflek Bian langsung bersiap untuk menghampiri rumah cewek itu dan membawa Rania ke rumah sakit. Dan disini lah mereka sekarang. Rania harus dirawat dirumah sakit karena Sasya yang meminta. Kalau dirumah tidak ada yang bisa menjaganya.

Setelah insiden mereka berdua kehujanan, malamnya Sasya langsung mengabari Bian
bahwa Rania tidak enak badan. Bundanya juga pernah berkata kepada Bian bahwa Rania mempunyai imun tubuh yang rendah. Cewek itu sama sekali tidak boleh capek atau bahkan kehujanan. Makanya bundanya dan Sasya sangat posesif kepada Rania.

"Sorry ya gue gabisa jagain adik lo." Ucap Bian. Ia sangat tidak enak pada Sasya karena ini semua ulahnya. Andai Bian tidak mendengarkan ucapan Rania dan memilih untuk meneduh, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.

Sasya meneguk teh manis hangatnya dan menoleh ke arah Bian. "Santai aja. Namanya juga takdir." Jawab Sasya santai.

"Adik gue tuh prematur. Jadi dia gampang sakit karena imunnya beda dari kita." Jelas Sasya yang membuat Bian menoleh ke arah cewek itu untuk memperhatikannya.

"Itu alesan kenapa gue posesif banget sama dia. Rania tuh istimewa banget di keluarga gue." Sasya meneguk teh manis hangatnya lagi setelah berucap seperti itu.

"Apalagi kalau dia banyak pikiran, ditambah lagi gamau makan. Gue sama bunda paniknya kayak besok ada bencana." Sasya hanya menyebut nama bundanya karena cewek itu sudah tidak menganggap ayahnya lagi karena semasa mereka kecil, cowok itu kabur bersama seorang wanita yang ia cintai meninggalkan kedua putrinya.

Tante Tabitha adalah single fighter untuk kedua putrinya. Berawal dari hidup yang susah sampai bisa sesukses sekarang karena perjuangannya sendiri demi membesarkan kedua anaknya.

"Rania udah sering kayak gini ya?" Tanya Bian yang dijawab oleh anggukan Sasya. "Udah enggak ke hitung lagi berapa kali gue kesini."

"Sebelum ada gue, siapa yang nganterin Rania kalo kambuh gini?" Tanya Bian penasaran.

"Gue sendiri kalo gaada nyokap." Jawab Sasya membuat Bian menatap cewek itu kasihan. Seandainya dari awal Bian mengenal mereka berdua pasti Bian yang akan sering membantunya.

"Gausah kasihan gitu sama gue. Udah terbiasa." Sasya tersenyum, cewek itu bangga menjadi dirinya sendiri karena bisa sekuat ini untuk mengurus adiknya.

"Oh iya, gue boleh minta tolong lo buat jagain Rania dulu enggak selama gue nganterin nyokap ke bandara?" Sasya meminta tolong pada Bian karena cewek itu harus segera mengantarkan bundanya ke bandara.

Bian terdiam sebentar sebelum menjawab pertanyaan Sasya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Itu artinya sebentar lagi sahabatnya itu akan berkumpul dirumahnya untuk merayakan ulang tahun Alana. Tapi di satu sisi Rania tidak bisa ditinggal sendirian dirumah sakit.

Rumah sakit atau Ulang tahun? Bian bingung sendiri.

"Kalo gabisa biar..."

"Pergi aja. Gue yang bakal jagain Rania disini." Ucap Bian setelah meyakinkan keputusannya bahwa menjaga Rania dirumah sakit lebih penting untuk saat ini.

"Beneran?" Tanya Sasya meyakinkan keputusan Bian.

"Iya santai aja." Jawab Bian menenangkan Sasya

XA's BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang