Part 08

284 23 2
                                    

Mobil sedan putih itu berhenti diparkiran mobil khusus pengunjung pemakaman tersebut. Bian menghembuskan napasnya dengan berat setelah cowok itu keluar dari mobilnya.

Ditangan Bian sudah ada setangkai bunga mawar putih kesukaan adiknya untuk ia bawakan. Sambil melihat bunga ditangannya, Bian tersenyum sendu. Dulu ia memberikan bunga ini ditangan Vienna, tapi sekarang bunga ini harus ia letakkan diatas batu nisan yang bertuliskan nama adiknya.

Setelah menghembuskan napasnya berkali-kali karena ia grogi. Ini kedua kalinya Bian mengunjungi makam adiknya setelah adiknya meninggal. Yang pertama saat hari pemakaman adiknya dan yang kedua adalah hari ini.

Cowok itu terus melangkahkan kakinya menyusuri area pemakaman sambil memanjatkan doa untuk orang yang telah dikubur disini.

Bian menautkan alisnya ketika melihat motor sport hitam yang tidak asing. Iya, itu motor Vier.

Dan ketika Bian makin melangkah mendekat, ia melihat Vier yang sedang mengelus batu nisan Vienna. Samar-samar ia mendengar suara isakan disana.

"Lo pasti marah kan kalo gue berantem sama bang Bian." Bian tersenyum sendu mendengar ucapan yang keluar dari mulut Vier. Memang sudah seminggu semenjak insiden dilapangan indoor, mereka berdua tidak saling bicara. Dirumah saat makan malam pun keduanya seperti orang asing yang tinggal satu rumah.

Bian enggan menegur adiknya begitupun sebaliknya. Entah apa yang dipikirkan adiknya itu, Bian tidak tahu. Yang pasti Vier masih marah padanya.

"Wajar aja namanya juga saudara. Pasti ada berantemnya. Nanti gue sama Bian juga baikan lagi, lo gausah khawatir ya." Bian tersenyum mendengar ucapan adiknya.

"Oh iya, gue belum sempet bawa pacar gue buat kenalin ke lo, Na."

Bian sedikit kaget mendengar ucapan Vier. Mungkin kenapa adiknya bisa semarah itu karena mereka berdua sudah pacaran?

"Next gue bakalan bawa dia kesini ya buat di kenalin sama lo."

Vier meletakkan setangkai bunga mawar putih yang ia bawa. "Nih gue bawain buat lo."

Cowok itu mengelus batu nisan yang bertuliskan nama kembarannya disana. "Baik-baik ya disana. Gue gasabar ketemu lo dikehidupan selanjutnya." Vier beranjak dari posisinya.

Baru saja ia membalikkan badannya, tiba-tiba kemunculan Bian Dihadapannya sontak membuatnya kaget.

"Lo sering kesini?" Tanya Bian basa-basi.

"Tiap pulang sekolah kalo nggak basket gue mampir kesini." Jawab Vier sambil menatap abangnya itu.

Bian menganggukkan kepalanya. "Gue jarang kesini. Waktu itu masih belum berani." Bian berjalan melewati Vier untuk mendekat ke tempat adiknya.

"Hai, Assalamualaikum cantik." Bian meletakkan setangkai mawar putih itu bersebelahan dengan milik Vier.

"Disana bahagia kan, dek? Pasti yang jagain kamu makin banyak ya." Bian tersenyum sambil menatap gundukan tanah didepannya.

"Anak Altair nitip salam buat kamu. Katanya mereka kangen jagain kamu."

"Kak Alana juga. Besok dia mau kesini ketemu sama Vienna."

Bian tidak bisa berbohong kalau ia sangat merindukan malaikat kecil di keluarganya ini. Matanya mulai berlinang air mata. Ia rindu dengan kenangan bersama adiknya dan ingin mengulanginya lagi.

Vier yang daritadi hanya diam sambil memperhatikan abangnya yang mulai menundukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Bian sedang menangis.

Ingin rasanya Vier merangkul abangnya dan menenangkan cowok itu. Entahlah, rasa gengsi cowok itu sangat tinggi daripada kata hatinya.

XA's BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang