Epilog

518 17 1
                                    

Mereka semua kembali berkumpul didepan pemakaman sahabat terkasihnya. Sebelum kembali merayakan hari kelulusannya disekolah, mereka berdiri mengelilingi makam sahabatnya untuk merayakan hari kelulusannya disini bersama sahabat terkasihnya.

Dibalik kacamata hitam yang kelima cowok itu kenakan, tetesan air mata mulai kembali berjatuhan. Walaupun matahari siang ini tidak terlalu menunjukkan cahayanya, mereka berlima sengaja tetap mengenakan kacamatanya agar tidak terlihat menangis.

Kepergian Bian yang sudah berlalu selama hampir lima bulan membuat sahabat terdekatnya itu sangat berubah. Tidak ada lagi kebahagiaan yang terjadi diantara mereka. Semuanya hanya berusaha untuk tetap hidup tanpa mau bahagia.

Kebahagiaan mereka seperti dibawa pergi dan terkubur bersamaan dengan tubuh sahabatnya itu. Sekarang yang mereka hanya lakukan adalah melanjutkan hidup seperti yang selalu Bian katakan.

Bahkan Alana, cewek itu harus beberapa kali konsultasi ke psikolog karena sudah sangat menderita karena kepergian kekasihnya. Ditambah lagi rasa penyesalan cewek itu pada Bian membuat jiwanya sedikit terganggu.

Walaupun seperti ini, kelima cowok itu masih akan tetap menjaga Alana seperti yang mereka janjikan pada Bian. Kadang beberapa kali juga mereka gantian untuk menemani Alana menemui psikolognya.

Tidak ada yang mengeluarkan suara saat mereka sampai disini. Mereka semua sibuk dengan kesedihannya masing-masing dan membayangkan seandainya Bian berada disini bersama mereka untuk merayakan hari kelulusan bersama.

"Kalian disini?" Mereka semua menoleh ke sumber suara dan menemukan Vier yang tidak jauh dari mereka sedang membawa bunga mawar putih ditangannya.

Cowok itu tersenyum tulus dan melangkahkan kakinya menghampiri sahabat abangnya itu.

Sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Tidak ada lagi lapangan indoor yang dipenuhi enam cowok sebelum masuk sekolah, tidak ada lagi kantin yang ramai oleh suara ribut Dimas dan Sagara. Semua berubah semenjak Bian pergi. Vier menyibukkan dirinya dengan Altair dan basket sementara kelima cowok itu larut dengan kesedihan mereka masing-masing.

Setiap hari Xavier memang tidak pernah absen untuk menemui abangnya dan kembarannya disini. Walaupun ia sudah melewati masa-masa tersulit ketika kehilangan Bian, tetapi setiap ia singgah disini Vier selalu menangis.

Ia terlihat ikhlas dihadapan semua orang tapi hatinya masih belum bisa menerima kepergian Bian dihidupnya sampai saat ini. Ia hanya sedang mencoba berdamai dan menerima kenyataan bahwa ia sendiri sekarang. Tanpa Bian ataupun Vienna.

Hubungannya dengan Rasya sudah berakhir. Dipikirannya yang lain, cowok itu sesekali menyalahkan Rasya atas kematian Bian. Walaupun tidak berkata secara langsung, Vier merasa penyebab kematian abangnya sebagian karena cewek itu.

Dan mereka semua tahu bahwa dalang dari kematian Xabian adalah Azriel. Tapi semua memilih diam karena trauma jika akan ada balas dendam lagi. Selama Azriel tidak bertingkah, mereka memilih untuk tetap diam.

Vier meletakan setangkai bunga mawar putih itu diatas nisan yang bertuliskan nama abangnya disana. "Bian gapernah suka kalau ngelihat orang yang dia sayang lagi sedih."

Cowok itu mendongakan kepalanya dan menatap kakak kelasnya ini satu persatu. "Kita gabisa gini terus. Kita harus tetap hidup kayak waktu masih ada Bian disini."

Dengan mata sembab yang berada dibalik kacamata hitamnya, Sagara menatap Vier. "Mana bisa. Nyatanya kita udah kehilangan Bian sekarang."

Vier sangat tahu bahwa orang-orang yang ada Dihadapannya ini sama sepertinya. Mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri dan menerima kepergian Bian.

"Bian menderita ngelihat kalian kayak gini sekarang." Vier tahu dan melihat sendiri hal itu. Setelah kepergian Bian, entah mengapa cowok itu sedikit peka dengan sekelilingnya. Padahal sebelumnya ia tidak pernah seperti ini.

Beberapa kali cowok itu sempat melihat bayangan Bian yang keluar dari kamarnya atau berjalan di koridor sekolah. Awalnya ia sempat kaget dan ketakutan, tapi cowok itu berpikir mungkin itu cara Bian untuk mengobati rasa rindu kepada orang-orang yang ia tinggalkan.

Saat sedang sangat terpuruk setelah kepergian abangnya, Vier pernah berdoa dan memohon agar terus bisa melihat abangnya bagaimanapun caranya. Mungkin saat itu doanya dikabulkan. Walaupun tidak sering, tapi ia senang melihat Bian masih berada disekelilingnya.

Seperti tadi, saat sedang melangkahkan kakinya menghampiri mereka. Vier melihat bayangan Bian ada diantara mereka dan sedang menangis. Cowok itu menangis karena melihat sahabatnya menderita dan belum mengikhlaskan kepergiannya.

Memang tidak ada yang tahu kelebihannya. Vier juga tidak berniat memberitahu hal ini pada orang-orang pada saat itu.

"Bian tuh selalu ada disekitar kita. Dia selalu perhatiin kita. Kalau kita kayak gini terus gimana dia bisa pergi ke tempat yang seharusnya dia berada?"

"Gue cuman masih belum bisa nerima kenyataan kalau Bian bener-bener pergi." Sagara yang daritadi bungkam akhirnya buka suara.

"Semua, semua juga masih belum bisa." Jawab Vier.

"Tapi kita harus coba."

"Ini demi kebaikan Bian sendiri biar dia bisa ngerasa bebas." Tidak ada yang membantah ucapan Vier.

"Dengan kita yang masih belum rela dia pergi ngebuat dia makin berat buat ke tempatnya."

"Demi kebahagiaan Bian kita harus ikhlas." Vier menatap mereka satu persatu yang perlahan mulai menundukkan kepalanya.

"Berat banget gaada Bian disini." Sagara kembali bersuara membuat Keenan yang berdiri disebelahnya langsung merangkul cowok itu.

"Janji ya, kita harus bahagia setelah ini biar Bian bisa bahagia juga." Suara Danillo membuat mereka semua mendongakkan kepalanya dan langsung menatap Danillo yang sedang tersenyum.

Dengan perasaan sayang, perlahan Danillo mengelus batu nisan tersebut. "Makasih, Bi. Makasih udah pernah hadir di hidup kita. Makasih untuk kenangan manis dan indah yang pernah kita lakuin bareng-bareng."

"Lo akan selalu punya tempat di Altair."

Dimas menatap sahabatnya satu persatu dan menganggukkan kepalanya.

Cowok itu menyeka air matanya dan tersenyum menatap nisan yang ada Dihadapannya ini.

"Kita ikhlasin lo untuk pergi, Xabian."

"Terimakasih untuk semua kenangannya."










——-

Makasih buat semua yang udah jadi saksi perjalanan Xabian sampai saat ini☺️

Akan ada extra part ya untuk lihat gimana kelanjutan hidup sahabatnya Bian sama Vier selanjutnya nihh stay tune yaa!!

XA's BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang