Fiveteen

1.3K 149 327
                                    

Sisa dua jam lagi untuk pulang. Pelajaran terakhir hari ini adalah Agama. Agea berjalan ke bangku Dino, meminta buku cetak Agama yang ia pinjam.

Agea menanti Dino yang kini sedang merogoh isi tasnya. Mencari buku cetak Agama yang dipinjamnya pekan lalu. Sudah dua kali check, Dino tak juga menyerahkan. Agea khawatir kalau buku itu ternyata lupa ia bawa.

Benar saja, Dino tak tepat janjinya. Padahal sehari sebelumnya Agea sudah mengingatkan. "Mana bentar lagi mapel Agama dimulai." Agea merotasikan matanya tatkala Dino hanya menggaruk tengkuknya sambil cengengesan tak bersalah.

Jika saja memukul seseorang itu dibolehkan, mungkin Dino sudah babak belur hari ini. Agea beranjak dari posisi berdirinya, berjalan menuju kursinya ketika Pak Hendri datang mengetuk pintu sambil mengucap salam.

Ketika Agea sudah berhasil mendaratkan bokongnya, tiba-tiba saja Dino berdiri, tangan kanannya menyerahkan buku cetak Agama, sedangkan tangan kirinya disaku celana.

"Kok?" heran Agea.

Bisa-bisa tangan Dino pegal dibuatnya. Ia meletakkan buku cetak Agama itu asal ke meja Agea. Sebelum meninggalkan lokasi, ia bertutur, "ternyata ketinggalan di laci."

Agea tak habis pikir, bisa-bisanya bukunya tak ia bawa selama seminggu penuh, hanya meninggalkan di laci. Beruntung teman-teman kelasnya tak ada yang tangan panjang.

Sejam sebelum berakhirnya pelajaran, kantuk sudah menyerang seisi kelas. Pak Hendri masih saja bersemangat bercerita. Kelas diketuk, pintu terbuka, salam tersampaikan. Seisi kelas menjawab salamnya.

Lelaki itu tegap berdiri, salim ke Pak Hendri, membisikkan beberapa kalimat kemudian dipersilahkan oleh Pak Hendri.

"Halo Assalamu'alaikum, butuh waktunya ketua sama sekretaris buat ke ruang guru. Terimakasih," jelas Andra mewakili, sedangkan perwakilan kelas lainnya hanya diam disampingnya. Andra kelihatan berwibawa dengan kacu merah putih yang bergantung dilehernya.

Aldi beranjak pergi. Ketika tiga langkah ia berjalan, ia membalikkan badannya seperti ada yang kelupaan. "Gea, ayo," ajak Aldi kembali berjalan ke arah bangkunya. Agea tak ngeh sampai akhirnya Keysa mengutarakan kalau dia sekretaris kelas.

Agea mencubit lengannya pelan, malu. Mereka berdua pun pamit undur diri dari kelas. Berjalan bersama menuju ruang guru, entah alasan apa penyebab mereka dipanggil.

Ketua kelas menuju Buk Umi, selaku wakil kepala sekolah. Agea tak mengerti mengapa mereka dibedakan. Sedangkan para sekretaris dengan Pak Anjar ke ruangan TU.

Pak Anjar menyerahkan beberapa lembar formulir, "suruh temen-temen kalian isi biodata ini ya, besok diserahkan beserta tanda tangan orang tua. Awas, jangan sampai dipalsukan." Sudah jelas banyak yang memalsukan, seperti kertas UH saja butuh persetujuan orang tua. Tetapi serentak kelas Agea mengisi tanda tangan sendiri.

Tapi tentu tak mungkin Agea membantah, hanya perlu mengiyakan tanpa memperumit. Agea menunggu Aldi keluar dari ruang wakil kepala sekolah itu. Agea cukup penasaran ada apa semua perangkat kelas dipanggil secara mendadak hari ini, hari Sabtu tepatnya.

Mata Agea melihat punggung lelaki itu. Andai saja ia menoleh, pasti mata mereka bertemu. Benar saja, sedetik setelah Agea berpikir seperti itu, mata Andra menoleh ke belakang, buru-buru Agea sontak membalikkan badan. Bisa-bisa ia tertangkap basah sedang mengamati.

Cukup lama hingga akhirnya Aldi dan teman lainnya keluar dari ruangan. Aldi menghela nafas pendek, tersenyum datar menyambut Agea yang segera bertanya ada apa.

Sedangkan di depannya, Andra lebih dulu meninggalkan kediaman bersama sekretarisnya, Via, tanpa sepatah kata sekedar menyapa Agea.

"Ngapain, Di?"

Agendra ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang