Bunyi brak pintu terbuka. Seisi kelas menatap Agea penuh amarah. Bagaimana kalau guru-guru dari kelas sebelah menghampiri mereka karena berisik.
"Ngapain si lu kayak dikejer maling aja," protes Nadira, matanya ia rotasikan. Nadanya terdengar ketus. Tak ada jawaban dari Agea membuat Nadira kembali bercengkrama dengan temannya Carla.
Agea berjalan lesu ke tempat duduknya. Disambut pertanyaan oleh Keysa. "Habis ngapain?" Keysa mengusap rambut Agea. Tiba-tiba saja bayangan tentang di perpus tadi muncul ke permukaan membuat pipinya mengeluarkan semburat merah.
"Apaan si usap-usap." Agea menyingkirkan tangan Keysa. Membuat Keysa mundur beberapa langkah hingga bokongnya mendarat ke kursi.
"Riska abis keluar cari lo. Di, chat Riska deh orangnya dah dateng." Keysa menepuk lengan Aldi dibelakang. Sang empu sedang bermain game pun berhenti. Layar yang tadinya miring berganti dengan posisi potret.
"Abis dari mana?" tanya Keysa sekali lagi. Ada raut khawatir didirinya. Terlebih Agea tak kembali dalam waktu cukup lama. Tapi bagi Agea hanya sebentar, terlebih ada insiden buku jatuh ke kepalanya.
"Dari kantin." Agea mengambil botol minuman dari tasnya. Ia teguk beberapa tegukan.
"Ga mungkin dari kantin. Orang lu kehausan," sela Keysa, matanya melirik botol minuman Agea yang tinggal setengah.
Agea mengangkat bahu acuh. "Peduli banget."
Hening, Keysa tak membalas. Terlebih guru pkwu datang membawa tumpukan kanvas. Sudah dipastikan pelajaran kali ini melukis.
Buk Tantri menyuruh Aldi dan Edo wakil ketua kelas untuk mengambil beberapa kanvas lagi di ruang guru. Sembari guru dengan heels 5cm itu membagikan, Boni dibelakang Agea menoel dirinya. Membuat Agea menghadap ke belakang.
"Enak tuh bagi Dino. Dia kan jago gambar." Lirikan matanya mengarah ke Dino, yang duduk persis dibelakang Keysa.
Agea mengangguk, "iya."
Pernah suatu hari, waktu SMP, sama seperti materi kali ini. Kanvas Dino dipajang di dinding luar ruang guru. Tentu saja ada rasa bangga bagi Agea, melihat teman kelahinya mengeluarkan bakat. Agea saja tak pandai hanya menggambar sebuah pohon. Namun Dino, tanpa membuat sketsa, pohon dengan rumah diatasnya saja ia bisa ia buat.
Lama melihat Dino, lelaki itu tak sengaja mengarahkan matanya ke Agea. "Ngapa?" sewotnya.
Agea menaikkan sudut bibirnya. "Idih ge er." jawabnya tak kalah sewot.
***
Dengan ditutupnya pelajaran Biologi, maka berakhir pulalah semua pelajaran di hari Kamis. Agea mengangkat kursinya, meletakkan di meja seperti yang dilakukan semua siswa. Dengan begitu, mempermudah siswa piket tanpa harus menyingkirkan kursi satu persatu.
Agea menyandang tasnya, dirinya teringat kalau punya agenda sepulang sekolah. "Duluan ya Gea." pamit Keysa dan Riska. Mereka mendahului Agea.
"Mangat." Dino menepuk tiga kali pundak Agea pelan. Agea tersenyum sedikit, tangannya pun terarah mendorong Dino agar menyingkir. Dia tak bisa keluar kalau badan Dino terus-terusan menutupnya.
Dua langkah keluar dari kelas, Agea dihadang Alka. "Pulang sama gua," ajaknya. Tinggi mereka yang tak sama membuat Agea menengadah.
"Lo ga inget apa gue bilang ada organisasi?" Agea mendecak. Tatapannya berubah menjadi sebal, terlebih raut wajah Alka menyerngit seraya berpikir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Agendra ✔
Fiksi RemajaIni kisah Agea dan Andra. Pasangan? Jelas bukan. Lalu, apa yang terjadi di antara mereka hingga judul cerita adalah gabungan dari nama mereka? Penasaran? Click, happy reading~