Thirty Eight [END]

948 50 434
                                    

Dinginnya kebun teh tidak lebih dari bekunya tubuh Agea saat ini. Baru saja dia mengungkapkan perasaannya pada teman sekolahnya. Andra. Mewanti-wanti agar keringat tidak membasahi pelipisnya. Dia malu, sekaligus gugup.

Ada harapan usai ini. Agea akan merelakan apa pun, termasuk hubungan pertemanannya dengan Andra yang mungkin akan renggang karena ulahnya. Ah, jika saja Agea bersabar atau tetap menutup mulut atas perasaannya. Tapi tak bisa.

"Sebenernya Ndra udah tau."

Apa? Tau Apa?

Tau apa yang Andra maksud? Tau akan perasaannya yang padahal baru saja dia ungkapin hari ini? Namun, dari siapa dia tau?

Apakah Alka yang memberi tau? Sepertinya tidak. Alka pandai menyimpan rahasia. Apakah Kevin? Dia pernah mengadu pada Andra jika Agea menanyakan tentangnya waktu kelas sepuluh. Walaupun kejadiannya sudah lama. Bisa saja Kevin yang mengatakannya. Meski itu hanya spekulasi hambar. Agea pasti salah.

Mungkin, Andra yang terlalu peka. Bisa saja dia tau karena Agea yang sering curi-curi pandang? Atau karena Agea selalu mencuri  setiap kesempatan untuk berkunjung ke kelas Andra?

Alih-alih bertemu dengan Alka waktu kelas sepuluh yang saat itu dia sekelas dengan Andra, sebenarnya Agea hanya ingin melihatnya. Dan saat  kelas sebelas, alih-alih bertemu dengan Alka dan Dino yang sekelas dengan Andra. Dia juga hanya ingin melihatnya.

Tapi, tak mungkin, kan, Andra menyimpulkan kejadian-kejadian itu bahwa Agea menyukainya? Meskipun bisa saja. Tapi, itu jauh dari mustahil karena saat Agea melakukannya dia selalu bertingkah biasa saja. Lalu, bagaimana cara Andra mengetahui itu?

Sebelumnya, Agea sangat ingin bertanya. Entah kenapa lidahnya kelu dan hanya bisa melenyapkan semua pertanyaan tadi. Bukan karena tak mampu untuk bertanya, lebih tepatnya sekarang ini Agea belum siap mendengar jawabannya. Ada perasaan ragu yang membuatnya ingin memendam pertanyaan itu jauh-jauh.

Agea bangkit dari batu besar sebagai tumpuan duduknya tadi. Hanya satu pikirannya saat ini. Pulang.

"Yaudah, kalau udah tau." Sudut bibir Agea terpaksa mengembang. Memberikan senyum tulus yang mungkin terlihat kaku.

Daripada harus menunggu perkataan Andra selanjutnya, Agea memilih untuk menerima saja. "Ndra. Nggak apa-apa kok. Lagian gue bilangnya biar lega aja. Dan lupain aja. Ayo, pulang."

Bukannya bangkit juga dari batu besar itu, Andra hanya memperlihatkan senyum tipisnya, lalu menunduk beberapa detik. Sampai dia mendongak kembali, senyum itu hilang. Menjadi keseriusan.

"Ndra, Ayuk." Agea mengajak Andra sekali lagi untuk meninggalkan kebun teh dan berangsur pulang.

Sudah lama rasanya mereka di sini. Agea tak ingin telat pulang. Alasan kedua, dia tak ingin mendengarkan perkataan Andra lagi. Tak ingin mendengar jawabannya atau reaksinya.

Agea lagi-lagi salah. Andra bersuara kembali, yang saat ini berupa pertanyaan yang siap meruntuhkan pertahanannya.

"Saat Andra aja tau perasaan Gea. Emang dari Geanya tau nggak perasaan Andra gimana?"

Andra masih duduk di batu besar itu dengan Agea di depannya memegang erat tali tas selempangnya. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Andra memutar kembali memorinya. Perasaan Andra pada Agea, bagaimana? Tak ada clue. Agea tak bisa menebak apa pun. Sehingga memutuskan untuk bertanya dengan hati-hati.

Agendra ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang