Samura membuka pintu menuju ruangan yang gelap gulita, dengan cahaya hanya dari layar televisi. Dirinya disambut oleh Mao, yang memasang ekspresi sedih dan penuh kekhawatiran. Samura tidak menyalahkannya, dan dirinya juga mengerti. Orang itu, gadis yang mereka harapkan bisa berbahagia, bisa melanjutkan hidup dengan harapan yang seadanya, dan juga tekanan di sekitarnya, akhirnya memutuskan untuk menyerah.
Dia akan mengakhiri hidupnya.
Samura melentangkan kedua tangannya, dan membiarkan Mao masuk ke dalamnya untuk memeluknya. Mao memejamkan matanya, dan merasakan matanya mulai perih, mulai memanas.
"Sudah tidak ada yang bisa dilakukan lagi?" tanyanya pada Samura, yang tidak menjawab, dan hanya memasang ekspresi yang menerawang jauh.
"Tidak tahu." Samura mendekap erat Mao. "Aku tidak tahu lagi." Mao mengeryit, mendengar getaran dalam suara Samura. "Yang dirinya butuhkan hanyalah dukungan, bukan tekanan, juga bukan jadi tempat untuk semua kesalahan. Gadis itu hanya butuh dukungan." Samura membenamkan wajahnya di pundak Mao, dan akhirnya air mata jatuh di mata kembarannya itu.
Mao mulai terisak. "Padahal dia sedang berusaha? Padahal dia sedang berusaha untuk berubah? Walaupun mungkin butuh waktu?" Samura mengangguk.
"Tidak ada yang mengerti." Samura menerawang jauh. "Setidaknya, mereka tidak mengerti keadaannya. Padahal dirinya tidak ingin begitu. Padahal dirinya tidak ingin berakhir begitu." Samura kembali membenamkan wajahnya di pundak Mao yang terisak. "Sayangnya tidak ada yang mengerti, dan berakhir hanya menyalahkannya untuk semua hal." Mao menyeka air matanya. Namun ucapan Samura selanjutnya, malah membuat air mata itu tidak bisa dihentikan lagi. "Karena dia lemah, karena dia manja, karena dia seenaknya, karena dia malas, karena dia suka bohong, karena dia pengecut, karena dia pemalu, karena dia nggak bisa apa-apa, karena dia nggak nurut" Mao terisak sekali lagi, dan membuat Samura berusaha tersenyum, mencoba menahan diri untuk tidak menangis.
"dan karena dia penakut."
Mao memeluk Samura sembari terisak kini. Dengan sangat erat. Samura hanya bisa mengeryit, merasakan perih, dan apa yang harus dirasakan gadis itu ketika mendengar semuanya, dan menjadi orang yang telah disebutkan Samura barusan. Semua orang yang lemah bisa menjadi kuat. Namun tidak semua orang, sekuat itu menerima ucapan dari pandangan orang lain, dan bersikukuh untuk memegang pendiriannya sendiri. Semuanya bisa, namun kenyataannya tidak semua. Mereka bisa karena mereka didukung, mereka menyayangi diri mereka sendiri, dan mereka berusaha. Tanpa salah satunya, hanya akan berakhir percuma.
"Dirinya sudah lelah harus menjelaskan, harus berbohong, dan harus hidup tanpa harapan dan tujuan hidup. Dirinya sudah berusaha, dan entah harus bertahan seperti apa lagi, bila tidak ada yang mendukung, tidak ada yang percaya, dan tidak ada yang menyadari."
Mao mengeryit, menggigit bibirnya, agar tidak berteriak. "Bahwa dirinya tidak baik-baik saja."
----------------------------------------------------------
Namaku Chira. Walau begitu, diriku tidak paham akan diriku sendiri.
Setelah kehilangan sosok panutan. Setelah kehilangan cahaya untuk melanjutkan hidup.
Diriku berjalan maju tanpa tujuan. Tanpa mimpi.
Yang dirasakan hanyalah tekanan, tuntutan, hingga kesalahan. Akan hal yang kuperbuat ataupun tidak.
Setiap hari mataku menjatuhkan air. Entah kapan berhenti, diikuti dengan kesedihan dan rasa sakit di hati.
Diriku ingin bersyukur akan setiap kebahagiaan yang kurasakan. Namun sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pieces of Dramarama - Monsta X
Romansa"Aku ingin bertemu dengannya sekali lagi." "Apa kau yakin dia bukan orang yang sama dengan temanmu yang kau cari itu?" "Perjalanan waktu tidak gratis." "Jangan mengaku-ngaku menjadi temanku satu-satunya!"