Limosin berwarna hitam memasuki kawasan perusahaan raksasa, gedung pencakar langit termasuk tertinggi ditengah kota New York. Tulisan Rizelle Group terpampang jelas di sisi gedung yang berdiri kokoh tanpa penghalang.
Mobil mewah itu berhenti di depan lobby umum, sengaja Agnia tidak mau melalui lobby VIP khusus petinggi. Agnia hanya ingin melihat secara langsung para karyawan yang bekerja untuknya. Selama ini hanya bisa memantau dari "Emerald Eyes".
Agnia melangkahkan kaki jenjang putih tanpa cacatnya di lobby Rizelle Group. Seluruh karyawan berbaris menyambut kedatangan pemilik perusahaan terbesar di Amerika itu, selama ini mereka hanya tau pemiliknya Queen Agnie Grizelle, tanpa pernah melihat wajahnya karena sengaja disembunyikan.
High heels runcing serwarna darah bertabrakan dengan lantai marmer abu abu menghasilkan irama merdu beraturan. Semua mata terpana melihat bos besarnya melewati mereka, mata hijau menusuk siapapun yang menatapnya, membuat semua orang disana bungkam. Aura kekuasaan Agnia yang kuat mendominasi sepanjang lobby perusahaannya diikuti dengan Leo dan empat pengawal dibelakangnya.
Rambut sewarna karamel bergelombang berayun mengikuti gerakan langkah empunya. Wajah datar namun tidak mengurangi kecantikan dengan bibir merah muda dan hidung runcingnya. Sesak, kata itulah yang membuat para pria menatap Queen jika terlalu lama, jadi tidak heran banyak yang mengalihkan pandangannya ke lantai, dengan dalih memberi hormat. Padahal hanya memastikan bahwa sesuatu di balik celana mereka tidak tercetak jelas. Bentuk tubuh idealnya dengan tinggi seratus tujuh puluh lima lebih cocok menjadi model victoria secret.
Agnia sangat mengerti apa yang ada dipikiran para pria disekitarnya saat ini. Memiliki IQ diatas rata-rata, malah sangat diatas dari manusia umumnya. Jadi wajar saja jika Agnia bisa membangun perusahaan, Leo hanya menjalankan, semua ide dan dana berasal dari Agnia.
Setelah sampai di lantai lima puluh tempat Aula meeting dengan para investor, Agnia menghentikan langkahnya.
"Kau ke aula saja dulu, aku mau ke toilet sebentar."
"Biar pengawal mengantarmu."
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri."
"Baiklah aku tunggu di pintu Aula."
Agnia tak menjawab, langsung melangkah menuju toilet yang arahnya ditunjuk oleh Leo tadi.
Agnia memasuki toilet yang sangat luas, cermin besar diatas wastafel putih dikelilingi marmer hitam bercorak menyambut nya, disisi kiri ada dinding penyekat yang kokoh.
Agnia melihat dirinya di cermin, bukan untuk buang air atau merapikan riasannya seperti wanita umumnya. Dia hanya nervous melakukan hal yang sudah diimpikannya berapa tahun silam. Menunjukkan pada dunia terutama ayahnya jika wanita juga bisa bekerja totalitas.
Agnia terperanjat mendengar seseorang mengerang dari balik tembok di sampingnya. Perlahan kaki jenjangnya melangkah kecil melihat apa yang ada dibalik tembok itu. Seketika tubuh Agnia menegang, matanya membulat bertemu dengan mata coklat terang, tidak sebelum itu mata Agnia telah melihat sesuatu yang besar dan panjang.
"Apa yang kau lakukan disini?" Suara bariton itu terdengar menggema menusuk telinga Agnia.
Agnia masih mematung terpaku dengan matanya masih membulat sempurna. Pria bertubuh atletis dengan kemeja putih dan dasi yang menggantung rapi di lehernya. Dengan cepat pria itu mengancingkan celananya dan menarik resletingnya tak lepas dari tatapan Agnia.
Pria yang terlihat lebih tampan dari dewa yunani itu mendekati tubuh Agnia menatap perempuan dihadapannya dari high heels sewarna darah, kaki jenjang mulus putih dibungkus rok setengah paha yang ketat berwarna hitam dan naik ke atas tank top sewarna darah dengan menampilkan belahan dada yang terselip dibalik blezer hitamnya. Kalung berlian berinisial A kecil bertengger di lehernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes
ChickLitAgnia Gayatri Purwoko, dokter yang membuat para kaum adam rela berpura-pura sakit, hanya untuk disentuh olehnya. Selalu menjadi pusat perhatian karena parasnya bagai dewi Rusia ditengah kota Jakarta. Tatapan mata emerald-nya membuat siapapun tertund...