°Zira's B&D°
.
.
.***
"Bukan hanya kalian berdua yang ingin mendapatkan hak asuh Zizi, aku juga menginginkannya," Reihand memulai percakapan setelah hening beberapa saat. "Aku yang pertama kali dekat dengan Zizi sebelum kalian hadir. Jika kalian tidak hadir pada saat itu, mungkin Zizi sudah menjadi anakku dan tinggal denganku hingga sekarang."
"Tidak adil rasanya jika hanya kalian berdua yang sibuk memperebutkan Zizi. Aku juga ingin mendapatkan hak asuhnya."
Reihand menarik napasnya pelan. "Empat bulan lagi, tepat di bulan Desember, Zizi berulang tahun yang ke-17." Ia memberi jeda sejenak. "Selama empat bulan itu pula, kita bersaing untuk mengambil perhatian Zizi."
"Di hari ulang tahunnya nanti, Zizi harus memilih satu di antara kita, ayah yang paling dia sayangi, " tandasnya.
"Dan siapapun yang Zizi pilih nantinya, dia yang berhak mendapatkan hak asuh itu."
***
Xalvaro's Penthouse, Indonesia.
Xalvaro's POVAku meregangkan tubuhku yang mulai lelah setelah hampir enam jam lamanya berkutat dengan laptop di depanku.
Setelah mendengar percakapan ketiga pria tua itu melalui penyadap suara yang telah kupasang di mansion itu, amarahku langsung tersulut saat itu juga.
Mengambil hak asuh Ana? Cih, takkan kubiarkan mereka melakukannya dengan mudah—lebih tepatnya, aku tidak akan membiarkan mereka mendapatkan Ana-ku.
"Rencanaku tidak boleh hancur," begitulah yang selalu kutekankan pada diriku agar aku tidak merusak semua rencanaku yang telah tersusun rapi hanya karena emosi yang selalu saja sulit kukendalikan. Rencana yang telah kususun sejak mereka membawa Ana tanpa seizinku ke negara lain.
Satu-satunya cara yang terpikirkan untuk mengalihkan fokusku dari topik pembicaraan mereka hanyalah dengan mengurus salah satu proyek perusahaanku, sambil sesekali menunggu kabar dari anak buahku mengenai kedatangan Ana di bandara serta menunggu mereka mengirimkan foto-foto Ana yang berhasil diambil.
Ugh, aku sudah tidak sabar melihat Ana kembali setelah hampir seminggu lamanya aku berada di negara yang berbeda dengannya.
Xalvaro Nolan, begitulah nama tanpa makna yang berarti dan terkesan biasa saja. Nama itu diberikan oleh pengasuh yang merawatku dulu.
Orang yang memberikanku sebuah nama bukanlah orangtuaku, melainkan seorang wanita muda yang pada saat itu berprofesi sebagai pengasuhku.
Aku terlahir dari hasil ketidaksengajaan. Singkatnya, Ibuku bekerja sebagai wanita malam, atau mereka menyebutnya pelacur. Dan tentu saja sudah dapat ditebak bahwa aku adalah anak dari salah satu pelanggannya.
Aku tidak mengenal siapa ayahku pada saat itu. Begitu juga dengan ayahku, tentu saja ia tidak mengetahui fakta bahwa ia memiliki anak dari salah satu pelacur sewaannya. Brengsek, memang. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkannya mengingat ibuku lah yang lupa memakan pil pencegah kehamilan pada saat ia sedang bekerja malam itu.
Awalnya, aku selalu bertanya-tanya tentang ayahku. Namun, seiring berjalannya waktu aku mulai tidak tertarik lagi tentang keberadaannya. Perlahan, aku mulai terbiasa dengan hidupku tanpa sesosok ayah hingga akhirnya aku sudah tidak memerdulikan tentang ayahku dan mengabaikannya sepenuhnya.
Begitu juga dengan ibuku. Jangan berharap ibuku akan merawatku atau setidaknya memperhatikanku. Oh, tentu saja tidak.
Awalnya saja ia sudah berencana mengaborsiku. Hanya saja, ia telat menyadari kehadiranku dalam kandungannya yang pada saat itu telah berusia empat bulan lebih. Beruntung aku baik-baik saja mengingat ia masih meminum pil pencegah kehamilan pada saat mengandung diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zira's Brothers & Daddy
Teen FictionKisah Zira, bersama ketiga 'ayahnya' dan juga para abangnya dari ketiga keluarga 'ayahnya' itu. -------- Zira Wieny Anastasya, seorang gadis remaja berumur 16 tahun yang kehilangan mommy-nya sejak kecil, sehingga Zira dirawat oleh bunda panti hingga...