BAB 22

16.3K 1.4K 162
                                    

°Zira's Brothers & Daddy°

HAPPY READING!!
.
.

⚠️ Ada sedikit adegan kekerasan.⚠️

:)

Zira segera pergi ke alamat yang telah diberikan orang itu tanpa berpikir panjang. Yang ia pikirkan sekarang hanya Lucio —kakaknya— dan Albert—orang yang berstatus sebagai ayah kandungnya.

Zira membayar dan turun dari taksi yang dipesannya setelah sampai di alamat itu. Alamat itu menunjukkan sebuah mansion enam lantai bercat abu yang luarnya tampak seperti tidak terawat.

Zira merasa ragu untuk masuk. Ia segera mengeluarkan obat penenang dari dalam tas, lalu memakan dua butir obat itu sekaligus—berjaga-jaga agar gangguan paniknya tidak kambuh disaat yang tidak tepat.

Zira memberanikan diri untuk segera masuk ke dalam mansion itu. Gerbang maupun pintu utama mansion itu tidak dikunci, mempermudahnya untuk masuk.

Awalnya ia mengira di dalam mansion itu gelap, namun perkiraannya salah. Zira merasa lega. Setidaknya, mansion itu memiliki penerangan yang baik. Di dalam mansion itu, semuanya bernuansa putih, berbanding terbalik dengan penampilan dari luar mansion itu. Ia segera naik ke lantai tiga, sesuai dengan instruksi orang itu. Ia berjalan dengan sedikit tergesa-gesa.

Langkahnya berhenti tepat di pijakan anak tangga terakhir di lantai tiga. Jantungnya berdetak dengan cepat. Dinding ruangan itu penuh dengan bingkai foto yang memperlihatkan dirinya. Mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan, mengingat luasnya mansion itu.

Mulai dari foto dirinya ketika masih bayi, lalu foto candid dirinya bersama mommynya —Sarah— ketika masih balita. Lalu semua foto kelulusannya bersama bunda panti. Semua foto pertumbuhannya lengkap dari bayi hingga foto terakhir kalinya, foto di mana Albert memeluknya di taman, dengan kondisi wajah Albert di foto itu diberi tanda silang.

Tidak hanya di dinding, banyak fotonya yang mengambang di kolam mansion itu. Di lantai tiga itu tidak ada ruangan lainnya. Hanya ada sebuah kolam yang cukup besar dan terlihat dalam, serta sebuah kamar mandi.

Yang paling menarik perhatiannya sekarang, adalah orang itu. Orang itu berdiri tepat di tengah ruangan, dengan memunggunginya.

"Di mana kak Cio? Di mana om Albert?" tanya Zira langsung, mengabaikan semua rasa gugup dan takutnya.

Yang ia pikirkan sekarang hanya keselamatan Lucio dan Albert. Sisanya, ia tidak perduli lagi. Ia sudah terbiasa melihat kegilaan orang yang yang berdiri di depannya sekarang.

Orang itu berbalik, lalu menatap remeh Zira, "Kenapa harus peduli sama mereka, Ana? Seharusnya yang kamu perdulikan itu keselamatan diri kamu sendiri terlebih dulu, Ana."

"Ana yakin kamu gak bakal bunuh Ana. Mungkin lebih tepatnya gak akan bunuh Ana." jawab Zira sedikit tegas, berusaha untuk tidak terintimidasi.

"Dari mulai berani membangkang, sekarang kamu malah menantangku? Jangan terlalu percaya diri kalau aku tidak akan membunuhmu, Ana." tuturnya sambil terkekeh sinis.

"Kalau begitu, kenapa Ana belum dibunuh sampai sekarang? Harusnya setelah berkali-kali kamu nyiksa Ana selama ini, banyak kesempatan yang bisa kamu manfaatin untuk ngebunuh Ana. Tapi kamu malah menyia-nyiakan semua kesempatan itu sampai sekarang."

"Ana gak tau apa alasan kamu nyiksa Ana sampai sekarang. Tapi, Ana yakin ada sesuatu di dalam diri Ana yang jadi alasan kenapa kamu gak bisa bunuh Ana."

Zira's Brothers & DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang