07. Burung Papa
[]
Memandang di balik tirai kaca jendela, gadis dengan kelopak mata monolid itu membuang napas pelan, menggigit bibir resah ketika melihat sebuah mobil hitam masuk melewati gerbang rumahnya. Sudah bisa menebak jika itu adalah mobil milik ibunya.
Kembali memeriksa laci meja belajarnya, gadis itu membuang napas pelan untuk yang kesekian kali, menatap beberapa lembar uang yang merupakan hasil dari jerih payahnya untuk bekerja paruh waktu selama ini. Namun, sayang, uang ini masih kurang untuk melunasi buku sekolahnya.
Sudah beberapa kali ia dipanggil oleh pihak administasi sekolah, menanyakan perihal yang sama. Memang benar ia adalah murid beasiswa, tapi itu hanya mencakup fasilitas, uang gedung, seragam, pendaftaran awal masuk, dan daftar ulang saja. Sedang untuk keperluan seperti buku harus ditanggung sendiri.
Menutup kembali lacinya, dengan ragu Kanaya berdiri, keluar dari kamar dan menghampiri ibunya yang tengah bermain ponsel sembari tersenyum sendiri.
"Bunda udah pulang? Mau Kana buatin minum?" sapa gadis itu lembut, sembari tersenyum pada ibunya.
Wanita muda itu melirik sekilas, seketika rautnya berubah judes. "Hm, sirup melon," balasnya cuek, kembali fokus pada ponselnya.
Mengangguk, Kanaya segera pergi ke dapur untuk membuat minum yang diminta oleh bundanya, dengan perasaan senang, berharap permintaannya kali ini bisa dipenuhi oleh ibunya.
Tak lama kemudian, ia kembali dari dapur dengan nampan dan segelas sirup melon di atasnya, meletakkan benda itu di atas meja, ia menatap sang ibu yang tengah tertawa— entah menertawakan apa, lantas mengambil gelas sirup yang ia bawakan dan meminumnya.
"Kenapa?" tanya wanita itu ketika menyadari jika Kanaya sedari tadi tersenyum menatapnya.
"E-eh? Enggak kok, Bun," sahut gadis itu kikuk karena ditatap galak dan disentak secara tiba-tiba.
"Senyam-senyum. Balik sana ke kamar," suruh wanita itu judes.
Kanaya meremas ujung roknya dengan kuat, gadis itu mengulum bibir, masih ragu untuk mengutarakan permintaannya, namun ia belum mencoba, paling tidak jika ibunya murka, pukulan yang diberikan tidak sesakit yang biasa Kanaya dapatkan dari ayahnya.
"Emm ... kalau Kana minta sesuatu, Bunda marah nggak?" cicit gadis itu bertanya, kepalanya tertunduk tak berani menatap ibunya.
Sedang mendapat pertanyaan seperti itu dari anaknya, membuat wanita berlipstik merah itu menoleh garang. "Mau minta apa?! Nggak cukup-cukup ya kamu nyusahin orang mulu?" sentaknya, membuat Kanaya mendelik seketika.
"K-kana cuma minta uang, Bun, buat lunasin buku sekolah, tapi Kana nggak minta banyak kok, cuma lima ratus ribu," ujar gadis itu, masih belum berani menatap ibunya.
"Lima ratus ribu kamu bilang nggak banyak? Tau apa kamu soal cari uang, hah? Kamu pikir nyari uang segitu mudah?!"
Meneguk ludahnya, Kanaya mengeratkan gigi gerahamnya. Padahal, orang tuanya kaya, ayah dan ibunya sama-sama seorang pegawai kantor, gaji mereka juga lumayan setiap bulannya, tapi sepeser pun enggan mereka keluarkan untuk dirinya.
"Kana janji cuma minta sekali ini, Bun, Kana mohon, udah berkali-kali Kana ditanya sama pihak administasi sekolah soal uang buku, Kana takut kalau belum lunas, nanti Kana nggak bisa ikut ujian..." Gadis itu masih berusaha menjelaskan, berharap ibunya bisa mengerti.
Memutar bola matanya sinis, wanita itu meletakkan ponselnya. "Urusannya sama saya apa? Yang sekolah 'kan kamu, saya nggak pernah nyuruh. Apapun yang terjadi itu bukan urusan saya, resiko kamu, suruh siapa sekolah? Kalau butuh uang, jual diri aja sana!" seru wanita itu, membuat kepala Kanaya refleks mendongak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELVANO
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA [SEQUEL "It Called Love" -- BISA DIBACA TERPISAH] *** Pada dasarnya, manusia tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan Elvano, orang yang selalu tertawa dan tak pernah menampakkan kesedihannya bukan berarti hidupnya baik-bai...