08 - Teman

8.2K 1K 45
                                    

selamat membaca cerita, elvano 💖💝

***

08. Teman

[]

"Tau nggak? Kemarin burung bokap gue hilang," ujar Elvano sembari menutup botol air mineralnya, pemuda itu menoleh pada Ravin yang duduk di sampingnya.

Hari ini setelah istirahat pertama, kelas mereka ada jadwal olahraga, disaat matahari hampir naik ke atas, hampir sama teriknya ketika siang hari, untung saja angin masih berhembus karena rindangnya pepohonan di area sekolah.

Menolehkan kepalanya, pemuda bermata sipit itu berjengit kaget ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya. "Hah? Serius aja lo, anjrit? Ngeri amat, kok bisa hilang? Terus calon adek lo nanti produsennya siapa?" tanyanya hirpebola, salah tangkap dengan kata "burung".

Elvano yang mendengar itu pun balik menoleh kaget, kedua alisnya bertaut. "Burung love bird anjrit, otak lo kotor banget?!" serunya, dengan tampang julid.

Suara tawa Ravin mengudara. "Makanya bilang yang jelas! Ambigu amat— ANJIR SERIUS LOVE BIRD HILANG?!"

"Itu mahal banget woi, yang biola blue 'kan? Wah, parah sih, kok bisa hilang gimana?" tanya Ravin, tambah kaget.

Elvano mengendikkan bahunya. "Tau deh, agaknya Mama cemburu gara-gara bokap urusin burung mulu, makanya dilepasin, ah tapi kenapa nggak digoreng aja sih? Sayang banget hilang. Dari kemarin ribut, sampe sekarang belum baikan," urai pemuda itu, merasa geli dengan tingkah kedua orang tuanya.

"Alah, biasa orang tua mah, bonyok gue juga begitu anjrit, mana perkara sepele doang," ujar Ravin, menonjok pelan lengan atas Elvano.

Sedang sang empu hanya manggut-manggut tipis. "Eh, ini kok sepi, anak-anak udah pada balik ke kelas apa?" tanyanya, tiba-tiba, tersadar jika sudah tidak ada murid-murid kelasnya di lapangan, hanya tinggal mereka berdua yang sedang beristirahat di bangku semen bawah pohon mangga.

"Ngantin kali, balik kelas anak cewek mulutnya toa semua, orang lagi bau keringet," ujar Ravin. "Mau balik kaga, lo?" sambungnya, bertanya.

"Kemana? Kelas ah, kantin bukan tempat gue," ujar Elvano, bangkit lebih dulu, mendahului Ravin.

"Ya tungguin dong, woi! Main duluan aja lo!" teriak pemuda itu, berlari kecil menyusul Elvano yang berjalan lebih dulu.

Sesampainya di kelas ternyata hanya ada beberapa anak perempuan saja, sisanya laki-laki semua, lagi pada nongkrong ria di atas meja, ngadep kipas angin sendiri-sendiri. Karena kipas anginnya ada empat, tiap pojok kelas ada.

"Buset, bau keringet anjrit, ngapa kaga cari angin di luar dah lo pada?" ujar Ravin, menutup hidungnya.

"Buta noh mata lo, panas kayak gini di luar, ya tambah panas lah," sahut salah satu temannya, ngegas, membuat Ravin tertawa.

"Ceilah, santai dong, tumben nih anak cewek mulutnya anteng, biasanya semangat koar-koar," ujar Ravin, menatap ketiga perempuan yang tengah duduk manis di bangkunya sendiri-sendiri itu sembari mengipasi diri dengan kipas baterai, ada juga yang dengan buku.

"Males," sahut mereka sama-sama masang muka judes.

Sedang Elvano memilih untuk mengabaikan hal itu, ketika hendak menghampiri bangkunya, pemuda itu tak sengaja melihat bola sepak yang tergeletak di dekat pintu.

Tiba-tiba sebuah ide iseng muncul di benaknya, dengan senyum tengil ia mengambil benda berbentuk bulat itu lantas menyingkap kaus olahraganya dan memasukkan bola itu ke dalam sana.

ELVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang