39. Berbeda
[]
Selepas mengantarkan Mentari pulang, Elvano tak langsung menuju rumah, pemuda itu berbalik arah, pergi kemana ia membawa motornya berjalan. Berhenti di pinggir danau untuk menetralkan pikiran serta perasaannya. Bohong kalau dia nggak galau, bohong kalau dia nggak sakit hati.
Tapi Elvano bisa apa? Nggak mungkin kalau dia mau maksa orang lain buat bales perasaannya 'kan? Beruntung perasaan Elvano tidak terlalu dalam, jadi rasa sakit hati yang ia rasakan juga tak terlalu perih, namun yang namanya sakit tetaplah sakit.
Lama pemuda itu termenung di pinggir danau sembari melempar batu-batu yang berada di sekitarnya, hingga tak sadar jika hari kian gelap. Lamunannya baru terpecah begitu adzan magrib berkumandang. Mengerjap, Elvano memperhatikan sekitar.
"Mampus," batinnya, segera memeriksa ponsel yang sempat ia silent semenjak ia pergi ke sini tadi.
Benar saja, mama beserta adik-adiknya sudah cerewet menyuruh pulang, bahkan papanya juga. Wah, gawat, papanya sudah di rumah dan Elvano belum pulang. Segera mengantungi ponselnya, Elvano berlari kecil menghampiri motor yang ia parkirkan di bawah pohon.
Namun, sebelum pulang, ia memilih untuk berhenti sebentar di masjid sekitar sana untuk ikut shalat magrib berjamaah, daripada nanti dirumah dia terburu-buru. Begitu selesai dengan kewajibannya, Elvano langsung menarik gas, menyelip di antara kendaraan-kendaraan lainnya.
Sesampainya di rumah, Elvano berdoa semoga di dalam nggak ada orang, ya walaupun sepertinya mustahil, tapi semoga saja beneran tidak ada. Mengendap-endap, Elvano membuka pintu rumah dengan pelan, lalu menyembulkan kepalanya ke dalam.
Namun pemandangan tak diharapkan langsung tersuguh di depan matanya. Di ruang tamu ada papa, mama, serta adik-adiknya yang tengah menatap ke arah pintu dengan tatapan sinis.
Ya Allah, ini namanya pembunuhan berencana nggak sih, batin Elvano.
Berusaha untuk terlihat biasa saja, dan seolah-olah tak melihat mereka, Elvano masuk ke dalam rumah, menutup kembali pintu dan berjalan menuju kamarnya, seiring ia melangkah, kelima pasang obsidian itu tak luput menatapnya, membuat Elvano ketar-ketir. Langkahnya baru terhenti ketika suara bariton milik papanya terdengar menginterupsi.
"Elvano Zaffre Dirgantara, darimana aja kamu sampe jam segini baru pulang?"
Seketika, bulu kuduk Elvano meremang ketika nama lengkapnya disebutkan.
Selamatkan Baim, Ya Allah, batin Elvano, melas.
Bukannya Raka tak mengizinkan anak-anaknya untuk keluar malam. Boleh kok, namanya juga anak laki-laki, Raka dulu juga pernah muda. Tapi tetap ada aturannya, yaitu jika keluar sore, sebelum magrib harus ada di rumah, boleh lebih, namun harus tetap mengabari lebih dulu.
Setelah magrib, boleh juga keluar lagi, namun harus sudah selesai mengaji, batas waktu hanya sampai jam sepuluh. Boleh lebih, asal juga mengabari lebih dulu.
Nah, masalahnya, Elvano tadi nggak ngabarin sama sekali, dia terlalu sibuk galau, sampai lupa kalau hari kian petang dan dia dicariin sama orang rumah. Maka bukan salah Raka ataupun Ghea jika sesampainya di rumah, dia kena interogasi.
"Ehe, itu, Pa, anu ... ponsel Vano batrenya habis, jadi nggak bisa ngabarin," ujar Elvano, berbohong. Ini kepepet, dia nggak mungkin bilang sibuk galau di pinggir danau sampe lupa ngabarin. Mereka mana mungkin percaya.
"Papa tanya darimana, bukan kenapa. Kamu ini nggak diajarin bahasa indosesia di sekolah?" tanya Raka, membuat Elvano meneguk ludah.
"Dari ... dari rumah temen," jawab Elvano, menyengir kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELVANO
Ficção AdolescenteFOLLOW SEBELUM MEMBACA [SEQUEL "It Called Love" -- BISA DIBACA TERPISAH] *** Pada dasarnya, manusia tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan Elvano, orang yang selalu tertawa dan tak pernah menampakkan kesedihannya bukan berarti hidupnya baik-bai...