28. Blind Date (?)
[]
"Udah lama nunggu?" tanya seorang pemuda yang barusaja meminggirkan motornya di trotoar, dekat si gadis yang tengah menunggu di sana.
Tersenyum, gadis manis itu menggeleng. "Belum, kok," jawabnya, sembari menerima helm yang diberikan pemuda itu padanya.
"Orang tua lo ada di rumah? Biar gue pamitin," tanya Elvano, sembari melonggokkan kepalanya untuk mengintip di balik gerbang hitam yang tertutup itu.
Buru-buru Mentari menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya di depan dada. "Nggak usah— emm, maksudnya jangan, nanti kamu dimarahin, lagian aku udah izin kok tadi kalau mau keluar," larang Mentari, tersenyum canggung pada Elvano.
"Dimarahin?" beo Elvano, dibalas anggukan oleh Mentari.
"Nanti aja aku kasih tau," ujar gadis itu. "Sekarang, kita mau ke mana?" tanya Mentari, mengganti topik.
"Hmm, enaknya kemana?" Elvano itu bertanya balik.
Mengerutkan dahinya, Mentari tampak berpikir. "Alun-alun?" usulnya.
Tanpa ragu, Elvano mengangguk, menyetujui. Kembali menaiki motornya. "Ayo, naik," ajaknya, diangguki oleh Mentari.
"Pegangan," ujar Elvano sedikit menoleh ke belakang, mengingatkan Mentari untuk berpegangan, membuat gadis itu sedikit kikuk, lalu meraih sedikit kemeja yang dipakai Elvano untuk berpegangan.
"Udah," jawabnya, mengangguk tipis.
Tanpa menyahut, Elvano kembali menstater motornya, dan melaju pergi dari sana. Membawa motornya dengan santai, sesekali kedua sejoli itu mengobrol di tengah-tengah perjalanan mereka menuju tempat tujuan.
Sebelumnya, Elvano memang mengajak Mentari untuk jalan-jalan, karena kebetulan Mentari tidak sedang ada kesibukan, juga tidak ada janji dengan temannya, gadis itu mengiyakan ajakan Elvano. Untung saja orang tuanya tidak bertanya lebih ia mau keluar dengan siapa, mungkin sudah hapal di luar kepala jika anaknya itu selalu keluar bersama Sonya.
Begitu sampai, Elvano memarkirkan motornya, lantas mengedarkan pandangan pada tempat yang disebut alun-alun ini. Banyak orang berlalu-lalang di sana, karena ini hari libur maka tak heran jika tempat ini ramai dikunjungi orang.
Aneka pedagang kaki lima berjejeran di sana, menjual makanan dan minuman yang beragam, membuat Elvano membulatkan mulutnya, takjub. Seumur-umur tinggal di Jakarta, baru kali ini dia menginjakkan kaki di sini.
Selain dia memang jarang keluar, biasanya kalau keluar dia lebih sering main ke pantai, mall, kafe, taman, atau biasa kalau malem di angkringan, ngobrol santai sambil ngopi sama temen-temennya.
"Wah, rame juga ya? Gue baru sekali ini main ke sini," celetuk Elvano, membuat perhatian Mentari beralih.
"Serius?" tanya gadis itu tak percaya. Memang sih tempat seperti ini mainstream, tetapi Mentari tidak pernah bosan untuk pergi ke sini walaupun sekadar duduk dan memperhatikan orang berlalu-lalang sembari menikmati sepoi angin yang segar.
Elvano mengangguk, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Iya, gue jarang keluar sih, biasanya kalau keluar gitu main ke rumah temen, atau nggak ngajak adek gue main ke timezone," ujar Elvano.
Mentari mengangguk-anggukkan kepalanya, paham. "Aku juga jarang keluar kalau nggak ada yang ajakin, biasanya Sonya yang ngajak ke sini buat icipin jajanan di pinggir-pinggir sana itu," ujar gadis itu, sembari memperhatikan jejeran pedagang kaki lima.
Mengikuti arah pandang Mentari, Elvano mengangguk, hingga tanpa sadar, tangannya terulur menarik lengan Mentari untuk mendekat ke sana. "Ayo ke sana," ajak Elvano, membuat Mentari sedikit terkejut karena tiba-tiba ditarik pergi.

KAMU SEDANG MEMBACA
ELVANO
Roman pour AdolescentsFOLLOW SEBELUM MEMBACA [SEQUEL "It Called Love" -- BISA DIBACA TERPISAH] *** Pada dasarnya, manusia tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan Elvano, orang yang selalu tertawa dan tak pernah menampakkan kesedihannya bukan berarti hidupnya baik-bai...