"Kalau nggak ada bahu buat bersandar, lo masih punya tanah buat bersujud. Coba bayangin, lo bisiknya ke tanah, tapi kedengerannya sampe langit, keren 'kan?"
- Elvano Zaffre Dirgantara.***
34. Hujan
[]
Setelah mendapatkan telepon dari Safira jika Kanaya sudah tidak ada kabar sejak dua hari yang lalu dan tidak bisa dihubungi sama sekali, Elvano langsung berpamitan pada sepupunya untuk pergi lebih dulu, lantaran ada sebuah urusan.
Kini pemuda itu tengah memandangi layar ponselnya yang mencoba untuk menelepon Kanaya, namun hanya suara operator yang ia dengar. Elvano tidak tahu harus mencari kemana, namun ia tetap pergi, karena Kanaya adalah tanggung jawabnya, ia yang sudah meminta pekerjaan itu pada Safira sebelumnya, maka jika ada komplain dari kakak sepupunya itu, Elvano lah yang harus bertanggung jawab.
"Lo kemana sih, Nay?" gumam Elvano, mendesah panjang. Pemuda itu mendongak sejenak ketika langit yang tadinya cerah tiba-tiba diselimuti mendung tebal yang bergemuruh.
"Ini mau kemana, Mas?" tanya tukang ojek yang sempat dipesan Elvano tadi.
Pemuda itu duduk di jok belakang motor itu menyahut, "Jalan aja dulu, Pak, lagi nyari orang, nanti saya bayar kok, tenang aja."
"Tapi kayaknya mau hujan, Mas, nggak neduh dulu? Saya bawa mantel, bisa dipake berdua," tawar bapak tukang ojek itu.
"Nanti aja, Pak. Mendung belum tentu hujan, sama kayak saya ke doi, deket belum tentu jadian," ujar Elvano, masih sempat-sempatnya melawak, membuat bapak tukang ojek itu tertawa.
"Bisa aja Masnya," kekeh bapak itu.
Tepat saat melewati jembatan yang dibawahnya sungai dengan air dalam dan tenang itu, Elvano menangkap sosok perempuan tengah berdiri di pembatas jembatan, ia belum sadar itu siapa, namun tahu aksi apa yang akan dilakukan oleh orang itu selanjutnya, Elvano buru-buru mengarahkan tukang ojeknya untuk berhenti di dekat sana.
"Ke sana, Pak, buruan!" tunjuk Elvano, segera dituruti oleh bapak tukang ojek.
Turun dari motor, Elvano memberikan selembar uang berwarna biru pada sang driver ojek. "Kembaliannya ambil aja, Pak!"
"Wah, terimakasih banyak ya, Mas!" ujar sang bapak, tersenyum, berterimakasih pada Elvano.
Mengangguk, balas tersenyum juga, Elvano segera berlari, sebelum terlambat, ia menarik tangan perempuan yang berdiri di atas pembatas jembatan itu. Membuat sang empu yang ditarik terkejut. Saat yang sama, rintik air dari langit mulai turun membasahi bumi.
"Kanaya?!" kejut Elvano, begitu mengetahui siapa gadis yang ia tarik barusan. Wajah gadis itu terlihat merah, kantung matanya menghitam, wajahnya sembab karena menangis.
Sama halnya dengan Elvano, Kanaya juga terkejut ketika dirinya ditarik begitu saja hingga tubuhnya limbung dan jatuh belakang.
"Lo ngapain berdiri di sini? Lo gila? Lo mau mati ya?!" teriak Elvano, tanpa sadar jika nada suaranya terlalu naik.
"Ngapain? Lo yang ngapain! Ngapain lo ke sini?! Nggak usah ikut campur urusan gue. Dan bener, gue emang mau mati, jadi berhenti peduliin gue!" balas Kanaya berteriak, setetes bulir bening berhasil jatuh dari pelupuk matanya.
Dadanya naik-turun, menahan gejolak emosi dalam dirinya. Seolah sedang merasakan hal yang sama, langit juga bergemuruh, air yang tadinya hanya rintik kini berubah deras.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELVANO
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA [SEQUEL "It Called Love" -- BISA DIBACA TERPISAH] *** Pada dasarnya, manusia tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan Elvano, orang yang selalu tertawa dan tak pernah menampakkan kesedihannya bukan berarti hidupnya baik-bai...