12. Keluarga Besar Papa
[]
Suara tawa dan derap langkah kaki menyatu, turut mengisi kebisingan koridor gedung kelas IPS pada jam istirahat ini, beberapa pemuda yang tampak sedang kejar-kejaran itu menjadi salah satu dari pengisi kerusuhan, bahkan hingga ke lapangan sampai melewati kantor dan ruang guru mereka berlari hanya karena berawal dari iseng dan saling mengolok-olok.
Namun, langkah salah satu dari mereka terhenti ketika mendengar namanya diteriakan oleh seorang guru laki-laki paruh baya.
"Heh, Elvano! Sini, sini!" teriaknya memanggil, membuat dahi sang empu yang dipanggil berkerut halus.
"Apa dah? Perasaan gue belum buat ulah hari ini," monolog pemuda itu, hendak mengabaikan namun guru yang merupakan wali kelasnya itu kembali berteriak sembari melambai-lambaikan tangan, isyarat agar ia mendekat.
"Cepetan, sini! Dipanggil kok lama banget!" teriaknya lagi.
Mendengkus pelan, mau tak mau Elvano berlari mendekat, membuat teman-temannya yang lain berhenti, memperhatikan dari jauh.
"Demi Tuhan, saya belum buat ulah hari ini, Pak, pasti yang ngelaporin fitnah. Motor Bapak kemarin 'kan juga udah saya isi lagi anginnya," ujar Elvano langsung to the point. Memang sih, kemarin ia sempat iseng gembosin ban motor wali kelasnya itu biar nggak bisa pulang duluan, terus anak kelasnya yang belum selesai ngerjain tugas bisa langsung kumpul, termasuk dia sendiri.
Jangan tanya kenapa sampe segitunya, karena wali kelasnya itu sekali ngasih tugas ya harus selesai hari itu juga, kalau besok-besok udah nggak berlaku lagi, artinya nilai kosong. Ya sayang, makanya Elvano berbaik hati buat gembosin ban motor demi teman kelasnya.
"Bukan itu, kamu ini suudzon aja! Nih, ada surat bagiin sana ke temen sekelas!" ujar Pak Edi— selaku wali kelas dari sepuluh IPS tiga.
"Surat apa? Panggilan orang tua? Sekelas? Kok bisa?" tanya Elvano terkejut, sebelum akhirnya mengambil segepok surat yang diberikan Pak Edi padanya.
"Dibaca dulu makanya, Maemunah!" ujar Pak Edi geram, menimpuk lengan Elvano dengan buku yang ia bawa.
"Oh, buat rapat ya..." Elvano menyengir, mengangguk-angguk, lalu sedetik kemudian ia berjengit heran. "Lah terus ngapain suruh saya? Ketua kelasnya siapa?" seru pemuda itu, hendak mengembalikan segepok kertas terlipat pada wali kelasnya.
"Saya mau kamu ya kamu, buruan sana bagiin! Protes aja, Bapak cubit nih mulut kamu!" seru Pak Edi, kembali menimpukkan buku ke lengan Elvano.
Elvano menyengir, menarik kembali tangannya yang tadi mengulurkan surat itu kembali. "Hehe, diupah nggak, Pak?" tanya pemuda itu, iseng.
"Kok ngelunjak?!" seru Pak Edi, sudah berancang-ancang mau nimpuk Elvano lagi, namun pemuda itu tertawa, buru-buru ngacir lebih dulu.
"Dasar, anak jaman sekarang, bikin nebah dada!" ujar pria paruh baya itu, geleng-geleng sambil ngelus dada melihat tingkah anak didiknya.
***
Sesuai janji Raka, hari Sabtu ini mereka sekeluarga berkunjung ke rumah orang tuanya, karena memang sudah lama anak-anaknya tidak bertemu kakek dan nenek mereka, sekalian juga kumpul keluarga besar. Dari pagi mereka sudah pada siap-siap, yang paling ribut sendiri itu Ghea, karena di hari Sabtu begini anak-anaknya pada susah dibangunin.
"Udah semua 'kan?" tanya Raka, menoleh ke jok mobil belakang.
"Udah, ayo berangkaattt," seru Hugo dan Elvano bersamaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
ELVANO
Fiksi RemajaFOLLOW SEBELUM MEMBACA [SEQUEL "It Called Love" -- BISA DIBACA TERPISAH] *** Pada dasarnya, manusia tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan Elvano, orang yang selalu tertawa dan tak pernah menampakkan kesedihannya bukan berarti hidupnya baik-bai...