35. Wejangan
[]
"Ada yang sakit?" tanya Ghea pada pemuda yang kini tengah berbaring setelah menghabiskan semangkuk sup hangat buatannya. Tangan wanita itu bergerak menyentuh kening hingga leher Elvano yang terasa hangat.
"Pusing, gatel, ngantuk, capek, mau tidur," keluh Elvano, membuat Ghea menghela napas pelan.
"Mama panggilin dokter aja ya kalau nggak mau ke rumah sakit," tawar Ghea, yang sangat menyayangkan kenapa ketakutannya pada jarum suntik bisa menurun ke Elvano seperti ini.
Apapun sakit yang ia alami, Elvano selalu berpikir jika ia akan dihadapkan dengan jarum suntik nanti. Selain itu, ia juga susah sekali jika disuruh minum obat. Padahal dulu sewaktu kecil tidak begini, kalau disinggung soal itu, ia selalu menjawab, "Dulu obatnya manis, rasa buah, sekarang pait, nggak enak."
Kalau bukan mamanya yang bujuk dan awasin, selawasnya juga dia nggak mau buat minum obat.
"Nggak mau, nanti sembuh kok, Ma, Vano cuma perlu isirahat bentar," ujar Elvano, menggaruk tangannya yang terasa gatal.
"Jangan digaruk!" cegah Ghea, segera menarik tangan Elvano.
"Gatel, Maa," rengek Elvano seperti anak kecil.
"Siapa suruh hujan-hujanan. Mama beneran stres kalau kamu sakit begini, dibawa ke rumah sakit nggak mau, dikasih obat juga susah. Udah tau kalau alergi dingin, masih juga ngotot nerobos hujan. Sekarang kamu maunya gimana, Mama tanya," ujar Ghea, membuat Elvano mencebikkan bibirnya.
"Mau tidur, tapi ditemenin Mama, dipeluk, di puk-puk," pinta pemuda itu seperti bayi besar. Ghea sudah tidak heran lagi, memang dimana-mana kayaknya cowok itu kalau sakit suka manja. Nggak suami, nggak anak-anaknya, sama aja.
"Mama temenin di sini?" tanya Ghea menunjuk kasur samping Elvano.
Pemuda itu mengangguk.
"Ini kalau Jennifer sama Mikael liat, pasti kamu diketawain," ujar Ghea, tertawa pelan, mengambil tempat di samping Elvano.
"Biarin," sahut Elvano, bergeser mendekat, lalu memeluk sang ibu.
"Uh, bayi besarnya Mama," ujar wanita itu tertawa geli. Lantas mengulurkan tangan, mengusap surai Elvano sesaat, sebelum tangannya turun, menepuk-nepuk pelan lengan Elvano, seolah sedang menidurkan seorang bayi.
Tak lama setelahnya, dengkuran halus pemuda itu terdengar, tanda jika ia telah larut menuju bunga tidurnya. Menyadari hal itu pun, Ghea menghentikkan tepukan tangannya, memandangi wajah damai putranya yang tertidur. Kentara sekali jika sedang kelelahan. Entah apa yang sudah ia lewati seharian ini.
"Jangan sakit lagi ya," ujar Ghea pelan, mengecup singkat puncak kepala putranya, sebelum bangkit dan turun dari atas kasur, membenarkan letak selimut pemuda itu.
Tersenyum kecil, Ghea mengambil nampan berisi mangkuk serta gelas kosong di atas nakas dan membawanya keluar dari kamar. Saat Elvano sudah tertidur seperti inilah waktu yang tepat untuk memanggil dokter, selain Elvano tidak akan tahu, ia juga tidak akan kebanyakan protes yang bikin Ghea tambah pusing dengernya.
"Eh? Ngapain kok berdiri di sini?" tanya Ghea ketika mendapati putranya, Elkano, tengah berdiri menyandar pada dinding di samping pintu kamar Elvano.
Menoleh, Elkano balik bertanya. "Udah tidur ya?" tanyanya, membuat Ghea mengerjap sebentar, lantas mengangguk.
"Iya, kalau mau masuk, masuk aja, tapi jangan dibangunin ya, Mama mau panggil dokter dulu," ujar Ghea, diangguki patuh oleh Elkano.
Begitu mamanya turun, barulah Elkano membuka pintu kamar kakak laki-lakinya, dan masuk ke dalam. Memperhatikan Elvano yang sepertinya sudah tidur dengan pulas itu, Elkano mengangkat selimut lantas ikut berbaring di samping kembarannya, mengambil posisi menyamping, pemuda itu menggunakan satu tangannya sebagai tumpuan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELVANO
Fiksi RemajaFOLLOW SEBELUM MEMBACA [SEQUEL "It Called Love" -- BISA DIBACA TERPISAH] *** Pada dasarnya, manusia tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan Elvano, orang yang selalu tertawa dan tak pernah menampakkan kesedihannya bukan berarti hidupnya baik-bai...