"Ditinggal dan meninggalkan itu hal wajar terjadi dalam kehidupan. Sebagai yang ditinggalkan, kita harus banyak bersabar dan ikhlas. Karena suatu saat nanti, kita juga akan menjadi bagian dari yang meninggalkan."
***
29. Bahu Untuk Bersandar
[]
Sepeninggal kakeknya, Elvano sangat merasakan perubahan yang begitu kentara pada papanya, bukan Elvano saja, melainkan semua anggota rumah. Pria itu lebih banyak diam seminggu terakhir ini, jarang sekali tertawa, selera makannya juga berkurang, membuat ia tampak sedikit lebih kurus dari sebelumnya.
Elvano tahu, ia mengerti bagaimana perasaan papanya, Elvano sendiri juga sedih, kakeknya pergi secepat itu, namun ia menjadi lebih sedih karena melihat papanya seperti ini, orang yang biasanya memberi semangat pada ia dan saudara-saudaranya itu justru menjadi yang paling rapuh saat ini.
Sudah berbagai cara Elvano lakukan untuk mencari perhatian papanya, paling tidak membuat pria itu marah-marah dan mengomel seperti biasanya ketika Elvano mulai jahil dan membuat ulah, namun nihil. Papanya hanya menghela napas berat sambil mengatakan hal yang sama, "Jangan berisik, Papa pusing."
"Papa dimana, Ma?" tanya Elvano pada Ghea yang tengah sibuk menyiapkan makan malam.
Mendongak, Ghea menjawab, "Di kamar nggak ada? Kalau nggak ada berarti di ruang kerja."
Elvano mengangguk, lantas berbalik, hendak melangkah menuju ruang kerja papanya, namun langkahnya terhenti kala mendengar panggilan mamanya.
"Eh, Vano, bentar dulu."
Menoleh, Elvano menatap mamanya dengan tatapan bertanya. "Kenapa, Ma?"
"Mau samperin Papa? Sekalian bilangin, makan malamnya udah siap," ujar Ghea, dibalas anggukan oleh putranya.
Mengerutkan dahinya, Elvano ragu, mengetuk dulu apa langsung masuk ya?
"Ah, langsung masuk aja," monolog Elvano, membuka kenop pintu ruang kerja papanya.
"Pa?" panggil Elvano, menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
Tanpa mengalihkan atensinya, Raka berdehem sebagai sahutan.
"Kerja mulu, udah kaya juga. Di suruh ke ruang makan sama Mama, makan malemnya udah siap," ujar Elvano.
Membuang napas panjang, Raka menutup sedikit layar laptopnya.
"Iya, duluan aja, nanti Papa nyusul," jawab pria itu.
Lagi-lagi Elvano merasakan atmosfir canggung yang begitu kental, seumur-umur belum pernah ia secanggung ini dengan papanya sendiri, sekalipun papanya itu sedang marah. Menghela napas tak kentara, Elvano mengangguk tipis.
"Ditungguin, Pa," ujarnya, sebelum menutup kembali pintu ruang kerja papanya.
Meninggalkan Raka yang tengah menyandarkan punggung serta kepalanya pada kursi itu. Helaan napas panjang kembali keluar, namun kali ini melewati mulutnya. Pria itu memijit pelan pangkal hidungnya. Entah sampai kapan ia akan seperti ini.
Memilih untuk melampiaskan kesedihannya dengan terus berkutat pada pekerjaan, paling tidak ini akan sedikit membuat Raka lupa akan apa yang tengah ia rasakan. Walaupun ia merasa bersalah karena sudah bersikap seperti ini pada anak beserta istrinya, Raka hanya tak ingin mereka ikut merasakan ketidak baik-baikannya.
Ia rapuh, rasanya sesak sekali ketika ia harus tepaksa menerima kenyataan jika papanya telah tiada, jika bisa, ia ingin sekali mengulang waktu dan tak melakukan hal-hal tidak berguna seperti yang dulu ia lakukan. Namun, semuanya hanya angan yang terus membekaskan rasa penyesalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELVANO
Roman pour AdolescentsFOLLOW SEBELUM MEMBACA [SEQUEL "It Called Love" -- BISA DIBACA TERPISAH] *** Pada dasarnya, manusia tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan Elvano, orang yang selalu tertawa dan tak pernah menampakkan kesedihannya bukan berarti hidupnya baik-bai...