14 - Penghuni Rooftop

6.2K 908 36
                                    

selamat membaca cerita elvano •ᴗ•

14. Penghuni Rooftop

[]

"Vano, bangun! Kamu ini mau sekolah apa enggak?" teriak Ghea kembali membuka pintu kamar Elvano, menyibak gorden balkon membuat cahaya terang memasuki kamar yang tadinya tampak temaram itu.

Sudah berkali-kali ia berteriak membangunkan putranya itu, namun sama sekali tak digubris. Giliran telat nanti marah-marah.

"Heh! Bangun! Lihat udah jam berapa, adek-adek kamu udah pada berangkat semua, ayo bangun!" Ghea menarik selimut yang menutupi tubuh Elvano, membuat pemuda itu melenguh pelan, mengusap matanya.

"Jam berapa sih, Ma?" tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.

"Jam setengah tujuh! Ayo cepet bangun! Mulung sana kalau nggak mau sekolah," ujar Ghea, membuat Elvano langsung membuka lebar matanya, tanpa mengumpulkan nyawa, pemuda itu berlari masuk ke dalam kamar mandi. Bukan karena kalimat mulung yang dilontarkan mamanya, melainkan sudah jam berapa saat ini.

"Mampus, mana ada upacara lagi," gumam Elvano menggerutu, mencuci dan menyikat giginya dengan cepat. Nggak usah mandi, nggak ada waktu.

Dengan gerakan secepat kilat ia memakai seragamnya, tanpa menyisir rambutnya yang terlihat basah karena ia basuh, setelah memastikan jika wajahnya tak terlihat seperti muka bantal, pemuda itu langsung menuruni tangga, hendak berpamitan pada mamanya.

"Ma, Vano berangkat dulu, Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam— tunggu dulu, Vano, bekalnya!" teriak Ghea hendak menyusul Elvano, namun pemuda itu sudah melaju lebih dulu keluar melewati gerbang rumah.

"Ya ampun, anak itu...," gumamnya menghela napas pelan.

Dengan kecepatan di atas empat puluh m/jam Elvano mengendarai motornya, meliuk-liuk melewati macet pagi ini. Pokoknya dia harus sampai di sekolah sebelum jam tujuh. Coba saja kalau semalam ia tidur lebih awal dan tidak bermain play station, pasti ia tidak akan kesiangan begini.

Helaan napas lega keluar dari bibirnya begitu melihat gerbang sekolahnya masih terbuka— hampir saja ditutup oleh satpam jika ia tak segera masuk. Dan ia datang di sekolah tepat saat bel tanda upacara akan segera dimulai berbunyi.

Kembali menghela napas lega, pemuda itu berkaca sebentar di kaca spion untuk membenahi rambutnya yang seperti gembel, menyisirnya sebentar dengan jari tangan. Ketika melihat sebuah kejanggalan, pupilnya melebar seketika.

"Alamak! Gue nggak pake dasi, mampus!" serunya meraba-raba kerah seragam yang tak terkalungi dasi itu.

Langsung saja ia menghubungi kembarannya, berharap jika pemuda itu sedia payung sebelum hujan.

Kano

Bawa dasi cadangan nggak?
Dasi Abang ketinggalan :(

Setelah mengirim pesan itu, Elvano segera pergi dari parkiran, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara familier yang memanggilnya. Ia terkejut, begitu menoleh dan mendapati Elkano.

Gila? Kembaran gue cenayang apa ya? batin Elvano takjub.

"Pake," ujar Elkano, memberikan dasi pada Elvano.

"Wah, selain punya kekuatan burok, lo juga cenayang ya, Kan?" ujar Elvano, menerima dasi yang diberikan kembarannya, dengan cepat memasang benda itu di lehernya.

"Jangan beli makan di kantin, nanti bekalnya dibawain sama Mama, sekalian datengin rapat wali murid," ujar Elkano, dibalas anggukan oleh kembarannya.

"Terus kalau gue—"

ELVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang