"Yang kaya itu orang tua gue, gue mah nggak punya apa-apa. Punya nyawa, itupun juga titipan."
— Elvano Zaffre Dirgantara***
27. Suit
[]
"Selamat Pagi anak-anak, hari ini kita ulangan ya," adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh guru laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kelas X IPS 3, setelah bel pergantian jam terdengar itu, membuat seluruh penghuni kelas membelalak kaget dan berteriak protes.
"Wah, nggak bisa gitu dong, Pak, masa mendadak sih?" protes salah satu siswi tak terima.
"Iya nih, kita 'kan belum belajar, nanti nilainya pada jelek, Bapak koar-koar lagi gara-gara banyak yang remidi," imbuh temannya yang lain.
Tersenyum, guru itu melangkah mendekati meja paling depan. "Ya sudah, kalau belum belajar, belajar dulu, saya beri waktu lima belas menit," ujarnya, yang masih mengundang protes dari penghuni kelas.
"Lima belas menit doang mana cukup, Pak, orang materinya sepanjang Anyer-Panarukan!" gerutu Elvano, membolak-balik buku LKS mata pelajaran geografi miliknya.
"Tau nih, ya kalau gampang, orang susahnya bikin otak ngebul!" Suara Ravin menyahuti perkataan Elvano.
Lantas suara-suara protes lainnya kembali terdengar, membuat ruang kelas itu menjadi riuh.
"Shut, shut, shut, tenang dulu, kok pada ngegas? Ulangannya gampang kok, cuma lima soal, materinya sudah saya jelaskan semua sebelumnya, saya yakin pasti pada dapet nilai 80+ nanti," ujar guru itu, mengangkat kedua tangannya memberi isyarat pada anak-anak muridnya untuk tidak membuat kegaduhan.
"Iya, soalnya lima doang, jawabannya beranak," sewot mereka, membuat guru laki-laki itu tertawa khas bapak-bapak.
"Terus kalian maunya gimana? Langsung ulangan apa belajar dulu lima belas menit, baru kita mulai?" tanya guru itu membuat dua opsi penawaran.
"Nggak dua-duanya, Pak! Tunda aja minggu depan ulangannya!" sahut mereka.
"Lho, yang ndak bisa gitu dong, bentar lagi 'kan kalian mau ujian kenaikan kelas, terus kalau ditunda-tunda nanti saya kasih nilainya darimana?" ujar guru itu, menatap anak muridnya.
Mendengkus, Elvano menggaruk rambutnya yang tidak gatal, beberapa detik kemudian, sebuah ide muncul di benaknya, tersenyum sumringah ia mengangkat tangan kanannya, membuat atensi sang guru beralih.
"Kenapa, Elvano?" tanya guru itu.
"Saya punya usulan, Pak! Gimana kalau kita suit! Kalau saya yang menang, ulangannya tunda minggu depan, tapi kalau Bapak yang menang, kita ulangan hari ini!" usul Elvano, membuat guru laki-laki itu mengusap dagunya tampak berpikir.
Beberapa teman Elvano bersurak, menyetujui. "Setuju! Setuju!"
"Gimana, Pak?" tanya Elvano lagi, tersenyum menaik-turunkan alisnya.
Guru laki-laki itu mengangguk-angguk. "Hmm, boleh-boleh, dulu waktu kecil saya jago main suit," ujar guru tersebut, membuat beberapa anak kelas menatapnya datar.
"Pak, maaf, tapi sayangnya kita nggak nanya," balas mereka.
"Saya ngasih tau," sahut sang guru.
"Yaudah, kita nggak pengen tau," sahut mereka lagi.
"Udah, udah, nggak pake lama, ayo, Pak, mulai, tiga kali ya!" ujar Elvano, bangkit dari duduknya menghampiri guru geografi.
"Menangin, Van! Awas kalau sampe kalah, gue geprek kepala lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ELVANO
أدب المراهقينFOLLOW SEBELUM MEMBACA [SEQUEL "It Called Love" -- BISA DIBACA TERPISAH] *** Pada dasarnya, manusia tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan Elvano, orang yang selalu tertawa dan tak pernah menampakkan kesedihannya bukan berarti hidupnya baik-bai...